Sebetulnya gagasan penulisan sejarah Indonesia telah ada sejak tahun 1951 dengan dibentuknya suatu Panitia Sejarah Nasional. Pada tahun 1957 diadakan seminar sejarah nasional di Yogyakarta. Seminar ini mampu memperdalam rasa kesadaran bangsa Indonesia tentang peranan sejarah nasional Indonesia sebagai sarana untuk pendidikan warga negara Indonesia. Berlanjut pada tahun 1963, juga dibentuk suatu panitia untuk penulisan kembali sejarah Indonesia, tetapi tahun-tahun berikutnya penuh ketegangan sosial dan krisis politik, tidak memberi kesempatan kepada panitia untuk menghasilkan karya (R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa, 2008:xiii). Pada bulan Agustus 1970, diadakan seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta, waktu itu Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan adalah Mashuri Shaleh, SH. Kelanjutan dari seminar tersebut, akhirnya buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) untuk pertama kali berhasil diterbitkan tahun 1975 sebanyak 6 jilid. Editor umumnya adalah Sejarawan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Setelah itu, edisi pemutakhiran penulisan buku SNI terus berlangsung. Buku SNI edisi II terbit tahun 1977. Buku SNI edisi III terbit tahun 1984, editor umumnya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku SNI edisi IV terbit tahun 2007, editor umumnya R.P. Sujono dan R.Z. Leirissa. Buku SNI ini diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Pada awal tahun 2003 telah mulai ditulis sejarah Indonesia sampai masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, menghasilkan 8 jilid buku 1 jilid fakta aneka & indeks. Buku tersebut berjudul Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS), editor umumnya adalah Prof. Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr. AB. Lapian, keduanya adalah murid Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Menurut saya, buku IDAS ini sangat bagus dan lebih bersifat “tematik” sesuai dengan temuan penelitian terbaru saat itu, diterbitkan tahun 2012 oleh PT. Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kemendikbud RI.
Menteri Kebudayaan RI era Presiden Prabowo Subianto, orang Minang juga, Dr. Fadli Zon, S.S, M.Sc., memiliki pemahaman dan kesadaran sejarah yang tinggi. Bahkan gagasan pemutakhiran penulisan sejarah Indonesia ini telah beliau lontarkan beberapa tahun yang lalu, sebelum beliau menjadi Menteri Kebudayaan. Pak Menteri telah memprogramkan pemutakhiran penulisan sejarah Indonesia. Reinventing Indonesia Identity istilah beliau. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh 113 penulis, 20 editor jilid, dan 3 editor umum dari kalangan akademisi lintas bidang ilmu, arkeologi, geografi, sejarah, dan ilmu humaniora lainnya, yang berasal dari berbagai latar belakang, dari Aceh hingga Papua (Rapat Menteri Fadli Zon dengan Komisi X DPR-RI, 2025). Intinya, penulisan sejarah ini dikerjakan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing masing. Sejarawan tersebut adalah Doktor dan Profesor dari berbagai perguruan tinggi.
Pemutakhiran penulisan sejarah ini sangat penting guna memasukan fakta-fakta dan temuan-temuan terbaru tentang sejarah Indonesia. Pemutakhiran penulisan sejarah sebetulnya sudah dilakukan oleh para pendahulu kita. Mulai sejak buku SNI edisi I terbit tahun 1975, kemudian dilakukan pemutakhiran pada tahun 1977, 1984, dan 2007, hal ini dilakukan tentu sesuai dengan fakta-fakta sejarah yang belum ditemukan sebelumnya.
Penulis berpikir dan berpendapat tentang perlunya dimasukan sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau (1945-1950) kedalam pemutakhiran penulisan sejarah Indonesia tahun 2025 ini. Hal ini sepertinya sesuai dengan yang dikatakan oleh Menteri Kebudayaan, Dr. Fadli Zon, S.S, M.Sc. tentang Reinventing Indonesian Identity. Dimasukannya sejarah ini sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia, karena dalam masa ini (1945-1950) terdapat Sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan keberlangsungan Republik Indonesia yang ada hari ini. Republik Indonesia yang sama-sama kita jaga dan kita bela. Pada tahun 2021, Pemerintah telah menetapkan Rumah PDRI yang di Bukittinggi sebagai cagar budaya. Dimana dahulunya di rumah inilah Syafruddin Prawiranegara mengusulkan agar dibentuk emergency government. Usul tersebut diterima oleh Tengku Mohammad Hasan selaku Komisariat Pemerintah Pusat di Sumatera. Maka, dibentuklan PDRI pada rapat sore hari tanggal 19 Desember 1948.
Terhadap buku sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau (1945-1950) ini, Wakil Presiden RI yang menjabat Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan pada tahun 1948-1949, Drs. Muhammad Hatta, memberikan kata sambutan untuk buku ini. Bung Hatta menyebutkan bahwa buku ini “ditulis oleh beberapa orang pejuang yang ikut berjuang untuk kemerdekaan, dalam politik dan tentara.…. Mereka menuliskan sejarah perjuangan Minangkabau dalam rangka sejarah perjuangan nasional” (Muhammad Hatta, 18 November 1978 dan https://setkab.go.id/kabinet-hatta-i/). Buku ini diterbitkan di Jakarta tahun 1978-1992 oleh Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (BPSIM). Penasehat Tim Kerja/Perumus buku ini dua orang. Pertama adalah Mantan Gubernur Militer Sumatera Barat dan Mantan Gubernur Militer Sumatera Tengah, yakni Mr. Sutan Muhammad Rasjid. Kedua, Ismael Lengah.
Sekitar tahun 1980-1990-an, Provinsi Sumatera Barat mendapatkan penghargaan pembangunan tertinggi dari Presiden RI yaitu Parasamya Purnakarya Nugraha karena Gubernur Sumatera Barat berhasil melaksanakan Repelita III (1979-1984), membangun Sumatera Barat. Penghargaan tertinggi ini dua kali diraih Sumatera Barat yakni pada masa Gubernur Ir. Azwar Anas pada tahun 1984. Pada masa Gubernur Drs. Hasan Basri Durin, berhasil meraih Prayojana Karya Pata Parasamya Purnakarya pada Pelita V. Tentu hal ini tak lepas dari fondasi yang telah dibangun oleh Gubernur pendahulunya yakni Prof. Dr (HC). Drs. H. Harun Al-Rasjid Zain, SE Datuak Sinaro. Yang bersuku Piliang. Masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Harun Zain. Pak Harun Zain bersama-sama dengan tokoh Minang, baik di ranah maupun di rantau, memperjuangkan bangkitnya Sumatera Barat dari keterpurukan dan ketertinggalan pembangunan. Orang mengistilahkan dengan mambangkik batang tarandam, mambangun kampuang halaman (Abrar Yusra, 1997). Adapun tokoh Minang yang dirantau adalah Prof. Mr. Muhammad Yamin, Chairul Shaleh, Drs. Muhammad Hatta, H.M.N. Hasyim Ning, Mr. Zairin Zain, drg. Sitti Yanuar Zain/Yetty Rizali Noor, Prof. dr. Roesmali, Prof. Dr. Biran, H. Rosihan Anwar, Enggak Bahauddin, Prof. dr. Bahder Djohan, Ir. Januar Muin, Drs. Achirul Jahja, Marthias Doesky Pandoe, Sjaifullah Alimin, Muhammad Darmalis, Drs. Roesman Makmoer, dan lain-lain (Abrar Yusra, 1997:114-116). Mungkin saya baru tahu bahwa Drs. Roesman Makmoer menjadi salah seorang yang ikut mendirikan Bank Pembangunan Daerah (BPD/Bank Nagari). Kemudian BPD dibantu pendanaanya oleh tokoh-tokoh Minang yang telah sukses di rantau seperti Fahmi Idris, Abdul Latif, Aminuzal Amin, Is Anwar Datuak Rajo Perak, dsb.
Khusus mengenai Gebu Minang (Gerakan Seribu Minang), seiring dengan perjalanan waktu, lembaga ini kemudian menjadi Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang. Peran Harun Zain bersama-sama tokoh-tokoh Minang tak mungkin kita lupakan. Beliau menjadi Ketua Eksekutif Gebu Minang. Ketua umumnya adalah Prof. Dr. Emil Salim. Badan pendiri Gebu Minang terdiri dari ada Emil Salim, Harun Zain Datuak Sinaro, Awaloedin Djamin, Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman, Abdullah Kamil, Hasan Basri Durin, Aminuzal Amin Datuak Rajo Batuah, Kamardi Arief, Rustam Didong, Abdulgani Datuk Sidubalang, dan Fami Idris. Sedangkan Badan Pengawas adalah Bustanil Arifin, Abdullah Kamil, dan Azhar Kasim (Hamid Jabbar dan Edy Utama, 2000:256, 260). Disamping itu, Harun Zain juga dikenal sebagai pituo Minang di Jakarta.
Harun Zain menempuh pendidikan di tiga zaman: zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan Indonesia merdeka. Pertama masuk sekolah ke ELS Batavia dan HBS Klas III Batavia (1942). Melanjutkan ke Tju Gakko (SMP) Surabaya dan SMT Surabaya Klas I (1945). Masuk SMA Perjuangan Malang - Blitar (1948) saat agresi militer Belanda berlangsung. Harun Zain merintis karir sejak dari nol. Mulai dari menjadi Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) saat peristiwa 10 November 1945, bersama-sama arek-arek Suroboyo dibawah pimpinan Bung Tomo. Waktu itu Harun Zain adalah siswa SMA Perjuangan. Selanjutnya Harun Zain bergabung menjadi Tentara Pejuang (TP) Kompi 1 Datasemen 1 Brigade 17 dengan pangkat Pratu. Lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan, Harun Zain didemobilisir dari Brigade 17 oleh Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar Pejuang (KUDPP) untuk tugas belajar ke FE-UI tahun 1948. Dosen yang terkenang oleh beliau adalah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (ayah Presiden Prabowo Subianto) dan Drs. Muhammad Hatta yang mengajar beliau lewat kelompok diskusi mahasiswa FE-UI yang diadakan di Istana Wakil Presiden sekali dua minggu (Abrar Yusra, 1997).
Editor : Abna Hidayati