IKLAN KUPING KANAN PASISI 12
IKLAN POSISI 13

Salawat Dulang: Dari Surau ke Panggung Dunia

Foto Mutia Fadillah
Ilustrasi Salawat Dulang: Dari Surau ke Panggung Dunia
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

Di tengah derasnya arus kesenian modern yang mendominasi generasi muda, masih ada satu tradisi Minangkabau yang terus bersinar dan menembus batas ruang serta waktu, Salawat Dulang. Seni pertunjukan ini telah bertransformasi dari hiburan surau di perkampungan menjadi kesenian dakwah yang tampil di panggung internasional, namun tetap mempertahankan ruh aslinya, harmoni antara seni, agama, dan budaya.

Asal dan Makna

Salawat dulang berasal dari tradisi Islam yang dibawa oleh para pedagang dan ulama ke Sumatera Barat pada masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Kesenian ini menampilkan dua orang pemain yaitu induk dan anak yang duduk bersila sambil menabuh dulang (nampan logam berwarna kuning) dan melantunkan syair-syair berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW, kisah para sahabat, dan nasihat moral bagi masyarakat.

Pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi sarana dakwah yang halus dan menyentuh. Di masa lalu, salawat dulang biasa dimainkan di surau mulai pukul 21.00 malam hingga menjelang Subuh. Momen-momen seperti khatam Al-Qur’an, maulid Nabi, atau acara keagamaan lain menjadi panggung utamanya. Kini, salawat dulang juga tampil dalam acara baralek, Ramadhan Festival, bahkan kegiatan kampanye dan event nasional.

Struktur dan Nilai Dakwah

Advertisement
BANNER POSISI 14
Scroll kebawah untuk lihat konten
Pertunjukan salawat dulang memiliki struktur khas, dimulai dari katubah (pembukaan), dilanjutkan dengan batang (isi utama berisi kisah atau pesan moral), kemudian yamolai (bagian kritik sosial), cancang (klimaks musikal dan tematik), dan diakhiri dengan penutup yang menenangkan. Fungsi utamanya mencakup tiga hal, sebagai media dakwah, pendidikan moral dan sosial, serta pelestarian budaya Minangkabau.

Syair-syairnya memuat pesan universal tentang kejujuran, hormat pada orang tua, tanggung jawab, dan nilai kebersamaan. Tak heran, salawat dulang disebut sebagai “kitab moral yang dinyanyikan” oleh sebagian pemerhati seni Islam.

Dari Minangkabau ke Dunia

Kebesaran nama salawat dulang tidak berhenti di ranah lokal. Pada 2017, dua grup salawat dulang dari Sumatera Barat tampil memukau di Festival Europalia Arts Festival Indonesia di Leiden, Belanda. Beberapa tahun kemudian, Firdaus (Fir Arjuna) dosen ISI Padang Panjang kembali membawa salawat dulang ke panggung Festival Musica Sacra di Maastricht, Belanda (2021). Penampilan ini menjadi bukti bahwa kesenian tradisional Minangkabau masih mampu beradaptasi dan diterima di ruang-ruang budaya global.

Meski sudah mendunia, salawat dulang kini menghadapi tantangan besar, minimnya regenerasi dan berkurangnya minat generasi muda.

IKLAN POSISI 15
Bagikan

Opini lainnya
AMSI MEMBER
Terkini
BANNER POSOSI 5
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT SAMPAH