POLITIK Indonesia sekarang tidak hanya berkisar pada baliho, spanduk, dan ajang orasi. Ruang politik secara bertahap telah dikuasai oleh dunia digital. Partai-partai besar seperti PDIP, Gerindra, Golkar, PKS dan lainnya kini perlu belajar untuk beradaptasi, tidak hanya bertarung meraih suara rakyat di tempat pemungutan suara, tetapi juga di media sosial.
Era politik digital memiliki dua sisi bagi partai politik. Di satu sisi, ia memberikan kesempatan besar bagi partai untuk lebih dekat dengan masyarakat, terutama generasi muda. Namun, di sisi lain, ia juga memperlihatkan kelemahan lama yang belum diperbaiki: jarak antara partai dan publik serta kurangnya inovasi dalam komunikasi politik.
Sebelumnya, kampanye berkaitan erat dengan konser musik dan spanduk yang berjejer di pinggir jalan, tetapi sekarang, persaingan suara lebih banyak terjadi di layar ponsel. Twitter (X), Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi arena baru di mana citra partai dibentuk dan dihancurkan dalam sekejap.
Contohnya, Gerindra dapat membangun narasi digital yang kuat melalui sosok Prabowo Subianto. PDIP juga berusaha tidak kalah dengan pendekatan komunikasi yang lebih modern, terutama melalui tokoh muda seperti Puan Maharani atau Ganjar Pranowo. Namun, tidak semua partai dapat menyesuaikan dengan perubahan yang cepat ini. Banyak yang masih melihat media sosial sebagai pelengkap, bukan sebagai arena utama untuk bertarung gagasan.
Sayangnya, politik digital di Indonesia belum sepenuhnya berkembang. Banyak partai malah terjebak dalam "politik gimik", bersaing untuk menciptakan konten lucu atau viral tanpa substansi yang jelas. Akibatnya, partai kehilangan perannya sebagai pendidik politik dan hanya menjadi mesin elektoral yang haus akan popularitas.
Digitalisasi seharusnya tidak hanya berhenti pada strategi kampanye. Sebagai langkah lebih lanjut, partai politik dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi publik. Misalnya, dengan menyediakan akses laporan keuangan partai secara online, menciptakan forum diskusi kebijakan di platform digital, atau melibatkan relawan dan anggota dalam perumusan program melalui aplikasi partai.
Partai PKS dan PSI, misalnya, mulai memanfaatkan platform digital untuk membangun komunikasi dua arah dengan kaum muda. Langkah ini mungkin kecil tetapi penting, karena politik yang sehat bukan hanya tentang menang suara, tetapi juga membangun kepercayaan.
Arah baru untuk partai politik di era digital seharusnya tidak hanya tentang penampilan modern, tetapi juga lebih terbuka, partisipatif, dan berorientasi pada ide. Masyarakat kini lebih cerdas dan kritis. Mereka dapat membedakan mana partai yang benar-benar bekerja dan mana yang hanya mengandalkan konten.
Jika partai politik ingin bertahan di masa depan, mereka harus belajar dari cara masyarakat berinteraksi saat ini: cepat, terbuka, dan jujur. Politik digital bukan sekadar mengenai algoritma dan keterlibatan, tetapi tentang membangun kembali kepercayaan rakyat yang mulai pudar.