DI TENGAH alam Payakumbuh yang dikelilingi oleh perbukitan dan aliran Sungai Batang Agam, berdiri sebuah jembatan tua yang menyimpan luka sejarah diberi nama Jembatan Ratapan Ibu. Jembatan Ratapan Ibu terletak di pusat Kota Payakumbuh, tepatnya di atas aliran Batang Agam.
Bukan sekadar penghubung dua sisi kota, jembatan ini menjadi saksi bisu peristiwa tragis yang terjadi pada masa penjajahan Belanda. Namanya diambil dari ratapan pilu para ibu yang menyaksikan anak-anak mereka dieksekusi di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial. Suara tangis dan doa yang mengalir bersama arus sungai itu kini menjadi simbol perjuangan, pengorbanan, dan kenangan akan masa-masa kelam bangsa ini.
Langkah kaki para ibu yang terhenti di tepi jembatan serta mata mereka yang nanar menatap ke arah barisan serdadu, yang tanpa belas kasihan menyeret anak-anak mereka menuju ajal. Tangis pecah, namun tak mampu menghentikan kejamnya sejarah. Di sanalah, di atas aliran Batang Agam yang tenang, terpatri duka yang tak pernah benar-benar hilang.
Sekitar tahun 1818 pada zaman penjajahan Belanda, rakyat berjuang untuk melawan pasukan penjajah. Di sebuah desa di daerah Payakumbuh, tinggallah seorang pemuda yang bernama Buyuang. Suatu hari Buyuang meminta izin kepada ibunya untuk ikut berjuang bersama bapaknya. Sang ibu menatap Buyuang lama. Ada perasaan was-was dalam dirinya membayangkan sang anak beserta suami akan pergi ke medan perang untuk membela bangsa dan negara. Tak lama setelah itu, sang ibu akhirnya memberi izin kepada Buyuang untuk ikut berjuang bersama bapaknya, dan tidak lupa juga Buyuang meminta doa kepada sang ibu agar mereka pulang membawa kemenangan.
Pada malam harinya Buyuang serta bapak pergi ke hutan tempat para pejuang lainnya berkumpul. Mereka akan menyerang benteng pertahanan belanda yang letaknya tidak jauh dari hutan tersebut. Mereka harus menyerang pada malam hari karena hanya memiliki senjata yang sederhana. Peperangan itu harus segera diakhiri sebelum pagi tiba. Apabila terlihat oleh Belanda mereka akan dihabisi oleh Belanda dengan senjata yang canggih. Sesekali Bapak bertanya kepada Buyuang apakah ia merasa takut dalam perang ini. Buyuang pun menjawab tidak takut sama sekali dengan tegas.
Para pejuang-pejuang itu kemudian ditangkap dan ditawan oleh tentara Belanda. Mereka yang ditangkap akan diikat dan digiring menuju ke sebuah jembatan yang berada ditengah-tengah kota, termasuk Buyuang dan Bapaknya. Mereka akan dijejer berbaring di atas jembatan tersebut. Di jembatan inilah para pejuang yang akan dihabisi. Semua orang desa pun berdatangan setelah mendengar penangkapan tersebut, termasuk para ibu-ibu untuk melihat suami serta anaknya.
Mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menangis dan berdoa. Lalu satu per satu dari mereka pun ditembak dan mereka akan berjatuhan ke Batang Sungai agam yang mengalir. Semua orang yang menyaksikan pun hanya bisa mengikhlaskan kepergian mereka dan mengirimkan doa untuk para pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk memperjuangkan bangsa.
Setelah kejadian tersebut, di dekat jembatan itu kemudian dibangun sebuah patung seorang ibu yang sedang menunjuk ke arah Batang Agam yang seolah olah mengatakan bahwa di sanalah mereka merelakan semuanya, mengorbankan semuanya, merasakan derita atas kehilangan anak, kehilangan suami, dan semua yang hanyut bersama aliran Batang Agam. Oleh karena itu, jembatan tersebut diberi nama Jembatan Ratapan Ibu. Ditandai sebagai lambang sebuah perjuangan dan sebuah perlawanan yang tidak hanya dilakukan oleh para pejuang laki-laki, akan tetapi juga ada peran ibu-ibu yang berjuang melepas anak dan suaminya pergi. Perjuangan mereka diabadikan melalui patung tersebut.
Jembatan Ratapan Ibu ini menjadi suatu hal yang sangat bersejarah karena mengisahkan tentang seorang ibu yang menunggu anaknya pulang dari berjuang pada zaman penjajahan Belanda. Selain itu pada cerita Jembatan Ratapan Ibu ini kita tidak hanya mengenal dan mengetahuinya dari cerita saja tetapi kita juga bisa melihat buktinya dari patung Seorang Ibu tersebut yang terletak di Ibuh, Jl. Jendral A Yani No.78, Daya Bangun, Kec. Payakumbuh Barat, Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, yang masih bisa kita lihat hingga sekarang.
Editor : Marjeni Rokcalva