IKLAN KUPING KANAN PASISI 12
IKLAN POSISI 13

Penulisan Sejarah, Orang Minang, dan Jasa Gubernur Harun Zain

-
-
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

SAYA pikir orang Minang adalah suku bangsa yang paling tinggi tingkat kesadaran sejarahnya. Hal ini terbukti dalam dialog pergaulan sehari-hari. Pembicaraan, diskusi, dan dialektika, sehari-hari orang Minang sulit dilepaskan dari sejarah, bukan karena apa tetapi karena demikianlah problematika yang dihadapinya. Kuat kecendrungan orang Minang meninjau serta memecahkan suatu masalah dengan pendekatan sejarah. Bahkan Sejarawan Jeffrey Hadler dari Cornel University, menulis Disertasi tentang Minangkabau, yang kemudian diterjemahkan dengan judul Sengketa Tiada Putus: Matriakat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau.

Penulis berpendapat bahwa hampir semua tokoh-tokoh Minang menulis auto-biografinya atau menulis biografinya sendiri dikala beliau masih hidup. Banyak sekali orang Minang yang berprofesi sebagai Sejarawan. Sebut saja Prof. Mr. Muhammad Yamin, SH, Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. Mestika Zed, MA, Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, Prof. Dr. Siti Fatimah, M.Pd, M.Hum, Prof. Dr. Asvi Warman Adam, Prof. Dr. Erwiza Erman, dan masih banyak yang lainnya belum tersebutkan. Paling tidak, orang Minang menyukai sejarah, menjadi peminat sejarah, sangat cinta sejarah. Mereka menulis berbagai karya tentang sejarah. Mereka mampu menjelaskan dengan efektif suatu persitiwa sejarah.

Kita semua mungkin telah membaca ensiklopedia tokoh: 1001 Orang Minang, yang ditulis oleh Hasril Chaniago, dkk, diterbitkan pada tahun 2023 oleh UMSB bekerjasama dengan Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau. Karya ini membawa kita kepada pemahaman yang baik bahwa orang Minang berbuat yang terbaik dimanapun mereka berada, atau di tanah rantau. Filosofi dimana bumi dipijak disana langit dijunjung mereka pakaikan. Disamping itu, orang Minang memiliki tingkat kesadaran sejarah yang tinggi. Pepatah adatnya mengatakan: mancaliak contoh ka nan sudah, mancaliak tuah ka nan manang, alam takambang jadi guru. Sejarah bagi mereka adalah pelajaran yang tak terlupakan. Cara berpikir memahami sejarah inilah yang patut dan yang harus kita lestarikan sebagai anak bangsa Indonesia. Bahwa ini harus kita wariskan dari generasi ke generasi dalam pertukaran zaman pergantian musim, adalah suatu sikap yang tepat dan bijaksana. Karena zaman batuka, musim baganti secara alamiah, maka pusako turun ka nan mudo. Sudah menjadi sunatullah bahwa kita yang hidup di dunia ini, datang dan pergi silih-berganti, sehingga gadang bagilia (bergiliran), kayo basalin, pusako turun-temurun, sang sako pakai mamakai. Tentu ini sudah menjadi hal yang biasa, sunatullah, orang ilmiah menyebutnya hukum alam.

Dalam zaman batuka musim baganti itu, bangsa Indonesia dari suku Minangkabau telah berjuang, merintis, mendobrak, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari para penjajah yang datang silih-berganti (Belanda - Jepang - Belanda, dsb). Sekali lagi, sejarah bagi orang Minang mempunyai arti tersendiri dan sangat penting. Saya pikir bukan hanya bagi orang Minang saja, tetapi bagi seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia. Bahkan Sejarawan, Ibnu Chaldun menobatkan ilmu sejarah sebagai “mahkota Ilmu Pengetahuan” (Munnawar Rahman, 1995:xxvi). Sedangkan Carl Backer, Sejarawan Amerika pernah berkata: every man his own historian (tiap orang menjadi Sejarawan bagi dirinya sendiri).

Saat Muhammad Yamin menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1953-1955, ia melakukan langkah-langkah strategis yaitu mengembalikan 1.151 benda budaya bangsa Indonesia dari negeri Belanda ke Indonesia. Yamin mendirikan PTPG di beberapa kota “jantung pendidikan” bangsa Indonesia kala itu: Malang, Bandung, Batusangkar, dan Tondano. Sekarang PTPG tersebut berkembang menjadi UM Malang, UPI Bandung, Universitas Negeri Padang (UNP), dan UNIMA Manado. Jauh sebelumnya, Yamin bersama-sama alumni Perhimpunan Indonesia dan kaum pergerakan kebangsaan Indonesia mendirikan Perguruan Rakyat di Jakarta pada tahun 1928-1963 (Putut Wisnu Kurniawan, 2010). Sang Menteri juga mengirim mahasiswa Indonesia belajar ke luar negeri. Salah seorang pemuda yang dikirim belajar ke Jerman adalah Habibie. Yamin memberi nasehat agar Habibie memilih jurusan konstruksi pesawat terbang, sambil mengelus-elus kepala Habibie, Yamin berkata “kamu ini harapan bangsa”. Rupanya dikemudian hari terungkap bahwa nasehat Muhammad Yamin inilah yang diikuti oleh Habibie (Gusti Asnan, dkk, 2018:4, 175). Menteri Yamin juga mengundang dosen-dosen asing untuk mengajar diberbagai universitas yang ada di Indonesia. Kebijakan ini menjadi contoh yang sangat bermanfaat dikalangan perguruan tinggi Indonesia sampai saat ini. Terutama dalam penyebaran ilmu, pengetahuan, teknologi, informasi, dan inovasi saat Indonesia memasuki era 4.0 dan society 5.0. Kemudian ada istilah studium general, general lecturer, lecturer series, internasional conference, procedding internasional, dsb. Selain itu, Yamin juga menekankan pentingnya konsepsi filsafat Sejarah Nasional Indonesia dalam penulisan sejarah Indonesia di alam kemerdekaan.

Advertisement
BANNER POSISI 14
Scroll kebawah untuk lihat konten
Di Indonesia, nasionalisme lahir sebagai bagian dari reaksi masyarakat Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Penulisan sejarah Indonesia juga harus dibebaskan dari pemikiran sejarah kolonialis (terutama Belanda). Melalui sebuah seminar nasional pertama yang diadakan di Yogyakarta tahun 1957, para cendikiawan Indonesia berkumpul, memperbincangkan berbagai hal mengenai sejarah nasional yang bakal ditulis sesudah itu. Salah satu isu utama yang diperdebatkan waktu itu ialah landasan filosofis dari penulisan sejarah Indonesia. Dua pemikir sejarah Indonesia pada waktu itu adalah Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin memandang perlu adanya filsafat sejarah dalam penulisan sejarah nasional Indonesia (Mestika Zed, 2010:145).

Menurut Muhammad Yamin, filsafat Pancasila sebagai filsafat negara dan filsafat sejarah nasional. Ini yang beliau namakan dengan Catur Sila Chalduniyah yang memiliki empat sila: kebenaran, sejarah Indonesia, tapsiran synthese, dan nasionalisme Indonesia. Pemusatan fikiran kepada segala kejadian sejarah Indonesia dalam hubungan umum. Itulah istilah filsafah sejarah nasional Indonesia yang berlandaskan kepada empat sila di atas (Muhammad Yamin, 1958:12-13). Kita ketahui semua, bahwa penekanan Muhammad Yamin dalam penulisan sejarah Indonesia berlandaskan kepada Catur Sila Chalduniyah. Sejarah Indonesia harus bebas dari pemikiran sejarah kolonial Belanda. Hal yang sama juga diungkapkan Menteri Kebudayaan RI era Presiden Prabowo Subianto, yakni Dr. Fadli Zon, S.S, M.Sc, bahwa perlunya penulisan Sejarah Indonesia yang bersifat “Indonesia Sentris”, bukan “Neerlando-Sentrisme”. Jadi benar-benar bebas dari pemikiran sejarah kolonial Belanda yang bersifat neerlando-sentrisme tersebut.

Pengaruh pemikiran neerlando-sentrisme terus terjadi pada masa awal-awal Indonesia merdeka. Cara berfikir penulisan sejarah yang diwariskan oleh para Sejarawan Belanda masih ada. Hal ini tentu tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia yang sudah merdeka (R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa, 2008:xiii). Persepektif kolonial Belanda ini masih terlihat dari adanya istilah: “prasejarah” dan “sejarah”. Menurut aliran pemikiran ini, masa sejarah Indonesia dimulai abad ke-4 Masehi karena mengacu kepada Prasasti yang ditemukan di daerah Kutai, sekitar aliran sungai Mahakam, Kalimantan Timur, yang menurut anggapan mereka bahwa itulah untuk pertama kalinya bangsa Indonesia mulai mengenal tulisan. Padahal temuan terbaru oleh para Arkeolog dan Sejarawan, bahwa jauh sebelum abad ke-4 Masehi itu, bangsa Indonesia sudah mengenal tulisan. Oleh sebab itu, Menteri Kebudayaan RI, Dr. Fadli Zon, S.S, M.Sc. dalam rapat dengan Komisi X DPR-RI baru-baru ini mengemukan istilah sejarah awal (early history) untuk mengantikan istilah “prasejarah” yang masih berbau kolonial.

Istilah “Sejarah Awal Nusantara” rencananya digunakan untuk Jilid 1 buku Sejarah Indonesia yang sedang dipersiapkan terbit tahun 2025 ini. Buku ini dipersembahkan sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 (Fadli Zon, Rapat dengan Komisi X DPR-RI, 2025). Sebelumnya, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terbit tahun 1975 mengunakan istilah “Zaman Prasejarah”, begitu juga dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terbit tahun 2012 juga mengenakan istilah “Prasejarah” (Taufik Abdullah, 2012). Hal ini mungkin disebabkan karena, dikala Indonesia merdeka, cara berfikir penulisan sejarah yang diwariskan oleh para Sejarawan Belanda yang bersifat neerlando-sentrisme tersebut masih terpakai.

Jika ditilik lagi jauh kebelakang, sebetulnya kolonial Belanda telah menulis sejarah Indonesia dalam beberapa versi. Tentu versi yang dibuat menurut versi penjajah dan pasti mengunakan “kacamata” keilmuan mereka yang bersifat neerlando-sentrisme. Bangsa Indonesia tidak dianggap dalam versi ini, hanya sebagai pelengkap saja. Bahkan para kolonialis tersebut telah menghasilkan karya-karya hebat menurut versinya sebagai bangsa penjajah. Misalnya buku History of Java yang ditulis oleh Thomas Stanford Raffles. Buku Geschiedenis van Indonesia oleh de Graaf. Buku Geschiedenis van den Indischen Archipel oleh Vlekke. Buku Schets eener Economische Geschiedenis van Nederlands-Indie oleh Gonggrijp. Buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie yang tediri dari enam jilid yang ditulis oleh Thomassen A. Thuessink van Der Hoop, Godee Molsbergen, Stapel, dan lain sebagainya (kumparan.com, 27 Juni 2023 dan https://lib.ui.ac.id). Yang pasti, buku ini tidaklah bisa dijadikan pedoman dan tidaklah pantas dijadikan acuan dalam penulisan sejarah bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sebaik apapun itu karya penjajah, tentu terselip juga niat mereka ingin menjajah kita secara intelekltual dan pemikiran.

Editor : Abna Hidayati
IKLAN POSISI 15
Bagikan

Berita Terkait
Loading...
BANNER KONTENMINANG-4AMSI MEMBER
Terkini
BANNER POSOSI 5
BANNER KONTENMINANG-6BANNER ANDAIKLAN LAYANAN MASYARAKAT SAMPAH