Untuk itu, pelestarian mitos dan cerita rakyat perlu dilakukan dengan cara yang kreatif dan relevan. Sekolah bisa mengintegrasikan cerita rakyat ke dalam kurikulum bahasa dan seni. Guru dapat mengajak siswa mendongeng ulang legenda Minang menggunakan gaya modern, misalnya melalui teater sekolah, animasi digital, atau podcast berbahasa daerah. Pemerintah daerah bersama budayawan juga dapat mengadakan festival dongeng dan lomba penulisan legenda nagari, sehingga masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam menjaga warisan lisan.
Di sisi lain, media sosial bisa menjadi jembatan baru bagi cerita lama. Banyak komunitas muda yang mulai membuat konten pendek berbahasa Minang yang mengisahkan kembali legenda seperti Danau Singkarak, Batu Batikam, atau kisah Orang Bunian. Pendekatan ini menunjukkan bahwa teknologi bukan ancaman, tetapi alat baru untuk memperpanjang umur tradisi.
Namun, tanggung jawab terbesar tetap berada di rumah. Orang tua adalah pendongeng pertama bagi anak-anaknya. Ketika seorang ayah atau ibu menceritakan asal-usul danau, gunung, atau batu keramat sebelum tidur, mereka sebenarnya sedang mentransfer identitas kultural dan nilai moral. Cerita rakyat bukan sekadar hiburan, tapi juga bentuk pendidikan karakter yang membentuk cara berpikir dan merasakan.
Pada akhirnya, legenda-legenda Minangkabau mengajarkan bahwa kebenaran tak selalu datang dari sejarah tertulis. Ia bisa hidup dalam lisan, dalam ingatan, dan dalam lanskap alam yang menyimpan kisahnya sendiri. Di setiap riak air Danau Singkarak, di setiap desir angin di puncak Marapi, orang Minang membaca pelajaran tentang kehidupan, bahwa manusia harus tahu dari mana ia berasal, agar tahu ke mana ia akan kembali.