Di balik keindahan alam Sumatera Barat, tersimpan kisah-kisah yang sarat makna dan simbolisme. Salah satunya adalah legenda asal-usul Danau Singkarak, kisah cinta, pengorbanan, dan kesetiaan yang menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Minangkabau. Cerita ini bukan sekadar dongeng untuk anak-anak menjelang tidur, melainkan warisan intelektual yang menanamkan nilai moral, sosial, dan spiritual kepada generasi penerus.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Danau Singkarak terbentuk dari air mata dan pengorbanan seorang kekasih yang rela tenggelam demi menjaga kehormatan dan janji suci. Dalam kisah itu, cinta tidak hanya dipahami sebagai perasaan antara dua insan, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab dan ketulusan yang melampaui batas diri. Air danau yang tenang menjadi simbol dari jiwa yang pasrah kepada takdir, sementara kedalamannya mencerminkan makna cinta yang tak terukur.
Dalam pandangan orang Minang, setiap legenda tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan falsafah “alam takambang jadi guru", bahwa alam adalah sumber hikmah dan pelajaran hidup. Danau Singkarak, dengan hamparan air yang luas dan biru, dianggap sebagai cermin kehidupan manusia, kadang tenang di permukaan, namun menyimpan riak dan arus di bawahnya. Dari alam, orang Minang belajar tentang kesabaran, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial.
Sayangnya, di tengah derasnya arus modernisasi, kisah-kisah seperti ini mulai jarang didengar. Anak-anak sekarang lebih mengenal tokoh-tokoh animasi asing dibandingkan legenda dari nagari sendiri. Padahal, mitos lokal seperti Danau Singkarak atau Malin Kundang memuat kearifan moral yang lebih membumi, tentang kesetiaan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap orang tua maupun alam. Kehilangan kisah ini berarti kehilangan sebagian jati diri.