Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Nagari/ Desa merupakan salah satu kategori Peraturan Daerah yang termasuk ke dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundangan-undangan. Akan tetapi di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Nagari/Desa tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Lain halnya dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa Pasal 7 ayat (2) menyatakan Peraturan Daerah meliputi: a) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur; b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; c) Peraturan Nagari/Desa atau peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. Karena UU Nomor 10 Tahun 2004 tidak berlaku lagi (Pasal 102), maka menimbulkan kerancuan dan perdebatan mengenai kedudukan Peraturan Desa/Nagari setelah UU Nomor 12 Tahun 2011 lahir.
Dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kedudukan, fungsi, dan eksistensi Peraturan Nagari harus diadakan penyesuaian, karena terdapat beberapa perubahan substansi pengaturan terkait dengan peraturan Nagari dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, dimana pasal 5 UU Desa ini tegas dinyatakan bahwa Nagari berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
Setelah berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Desa tidak lagi disebut secara eksplisit sebagai salah satu jenis dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan tujuh jenis peraturan perundang-undangan, yaitu: (1) UUD Negara RI Tahun 1945, (2) Ketetapan MPR, (3) UU/Perppu, (4) PP, (5) Perpres, (6) Perda Povinsi, dan (7) Perda Kabupaten/Kota. Dalam pasal itu tidak disebutkan adanya Peraturan Nagari. Akan tetapi, kedudukan Peraturan Nagari/Desa sebenarnya masih termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011:
Dalam pasal 7 ayat (1) tersebut tidak ada tersurat kata-kata "peraturan desa", yang ada adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atau yang setingkat. Dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, dan dalam beberapaaturan yang dikeluarkan oleh Menteri (dulu Menteri Dalam Negeri dan sekarang Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi), nomenklatur "peraturan desa" memang dimunculkan. Peraturan Desa di dalam peraturan tersebut dimaknai sebagaiperaturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Jadi, berangkat dari pengertian ini artinya Peraturan Nagari wajib melewati proses pembahasan dan penyepakatan bersama antara Walinagari dan Badan Permusyawaratan Nagari. Barulah setelah melalui proses ini, Wali Nagari dapat menetapkan pengesahansuatu Peraturan Nagari.Kewenangan untuk mengeluarkan Peraturan Nagari ini termasuk dalam kewenangan lokal berskala Nagari di bidang pemerintahan.
Lalu, apakah Peraturan Desa (dan juga peraturan Nagari) termasuk kategori peraturan perundang-undangan (regeling regel) terendah dalam tata susunanperaturan perundang-undangan di Indonesia? Menarik, bahwa ternyata Pasal 69 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 memuat ketentuan sebagai berikut: "Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa." . Dari ketiga jenis peraturan di desa itu, ternyata hanya dua saja yang tegas dinyatakan wajib diundangkan dalam lembaran desa dan berita desa oleh Sekretaris Desa, yaitu jenis Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa. Antara Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa jelas terdapat hierarki, karena Peraturan Kepala Desa merupakanaturan pelaksanaan dari Peraturan Desa. Harusnya, Peraturan Bersama Kepala Desa pun harus secara tegas dinyatakan berada dalam jenjang yang sama dengan Peraturan Kepala Desa, kendati lingkup keberlakuannya meliputi dua desa atau lebih yang saling bekerja sama. Artinya, jika ada dua desa yang bekerja sama yang aturan kerjasama itu dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa, maka wajib ada dua nomor Peraturan Kepala Desa yang oleh keduaSekretaris Desa harus diundangkan dalam berita desa mereka masing-masing.
Persoalan lain adalah, apakah hanya dimungkinkan adanya Peraturan Bersama Kepala Desa, tetapi tidak boleh ada Peraturan Bersama Desa?. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga berbagai peraturan pelaksanaannya, sama sekali tidak menyinggung nomenklatur "peraturan bersama desa". Lalu, apakah jika tidak disebutkan, lalu berarti tidak boleh ada? Apabila pengaturan desa ditujukan untuk antara lain mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; lalu membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien, efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;maka bentuk kerja sama antar-desa itu seharusnya bisa juga dijalin dalam wujud peraturan payung yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Desa?. Oleh sebab itu, tentu boleh-boleh saja ada Peraturan Bersama Desa. KeberadaanPeraturan Bersama Desa ini perlu diberi ruang karena Camat yang pada saat bersamaan berposisi sebagai"atasan" terdekat para Kepala Desa itu tidak diberi kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan.Jika kita cermati UU Nomor 6 Tahun 2014, hanya ada Peraturan Desa yang dimasukkan ke dalam butir ketentuan umum untuk didefinisikan sebagai peraturan perundang-undangan. Sementara itu, Peraturan Kepala Desa yang merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Desa tidak diberikan pengertiannya. Dengan dibukanya jenis-jenis Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka Peraturan Kepala Desa pun adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa. Ini berarti iamemenuhi syarat untuk menjadi sebuah "regeling regel" yang posisinya lebih rendah daripada Peraturan Desa.
Melihat pengaturan tersebut, maka jelas seturut dengan pengaturan UU Nomor 6 Tahun 2014, Peraturan Desa kembali berkedudukan sebagai Peraturan Perundang-Undangan selain dari Peraturan Perundang-undangan yang terdapat di dalam hierarki sesuai bunyi Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011. Melihat hubungan tersebut, maka Peraturan Nagari/Desa atau yang setingkat, pasca disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 bukan lagi berkedudukan semata sebagai penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan telah berkedudukan sebagai Peraturan Perundang-undangan yang diakui. Kemunculan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 secara serta merta mengafirmasi pengaturan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Peraturan Nagari/Desa merupakan instrumen hukum penyelenggaraan Pemerintahan Nagari di dalam melaksanakan kewenangan Nagari/Desa, sehingga Peraturan Nagari/Desa seturut UU Nomor 6 Tahun 2014 berfungsi untuk menyelenggarakan Pemerintahan Nagari dalam hal kewenangan Nagari mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Nagari. Pengaturan demikian dapat diartikan bahwa Peraturan Nagari memiliki fungsi sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi Nagari. Kedudukan Nagari berada di wilayah Kabupaten/Kota. Perlu juga dicermati pengaturan dalam Pasal 115 huruf b dan e jo. Pasal 112 Ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Nagari, yang dalam hal Peraturan Nagari berupa memberikan pedoman penyusunan Peraturan Nagari dan Peraturan Kepala Nagari serta melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Nagari. Ketentuan ini memperjelas bahwa fungsi Peraturan Nagari tetap tidak berubah, yakni berfungsi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, perlu dilihat bahwa melalui pengaturan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 terkait Peraturan Nagari ini terlihat jelas bahwa tampuk kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan Nagari berada pada Wali Nagari. Wali Nagari lah Badan yang selain melaksanakan peraturan perundang-undangan, juga merupakan Badan yang membentuk Peraturan Nagari. Hal ini menegaskan kedudukan dan fungsi BPD. Sehingga jelas adanya bahwa berjalannya demokratisasi di Nagari pada umumnya dilaksanakan melalui Wali Nagari, dengan BPD sebagai parlemen Nagari dan lembaga demokratisasi Nagari menjadi lembaga yang ikut serta melalui fungsi pengawasannya. Demokratisasi ini dilaksanakan dalam bingkai Otonomi Nagari yang sejatinya semakin kabur, dimana Pemerintahan Nagari seturut UU Nomor 6 Tahun 2014 tidaklah dapat diselenggarakan secara otonom sepenuhnya, melainkan tetap dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.