IKLAN KUPING KANAN PASISI 12
IKLAN POSISI 13

Jejak Perjuangan Harun Zain: Putera Pariaman Menghadang Agresi, Membela Negara

Jejak Perjuangan Harun Zain: Putera Pariaman Menghadang Agresi, Membela Negara
Jejak Perjuangan Harun Zain: Putera Pariaman Menghadang Agresi, Membela Negara
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II. Tentara Belanda menyerang Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta secara membabi buta, menduduki kota tersebut, dan menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri RI Muhammad Hatta beserta para pemimpin Republik Indonesia. Kota-kota besar lainnya jatuh satu per satu, diikuti kota-kota Kecamatan di Jawa (Abrar Yusra, 1997:55). Pratu Harun Zain sebagai tentara pejuang Kompi 1 Datasemen 1 Brigade 17 bergerliya di Kota Surabaya dan Jawa Timur, bertempur melawan tentara Belanda yang datang menyerang.

Minggu dini hari tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan serangan Belanda ke Bukittinggi dan Lubuk Linggau untuk memutus rantai ekonomi Indonesia ke luar negeri. Sasaran utama mereka ke Ibukota RI di Yogyakarta untuk menangkap para pemimpin puncak Republik di pusat. Serangan ke Bukittinggi sebagai benteng Republik Indonesia ialah untuk melumpuhkan "kekuatan alternatif" Republik Indonesi di luar Jawa. Tetapi itu saja belum cukup. Menurut perhitungan Agressors Belanda, pendudukan atas Yogyakarta dan Bukittinggi itu pasti tidak sanggup melumpuhkan Republik Indonesia, selama urat nadi ekonominya belum diputuskan.

Saat terjadi serangan Belanda, Bung Hatta yang sebelumnya berada di Kaliurang segera menuju Istana Kepresidenan di Yogyakarta. Bung Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia waktu itu, memimpin sidang Kabinet secara darurat, mengambil keputusan keputusan, dan perintah-perintah dengan segera. Hanya dihadiri oleh sekitar separo dari anggota Kabinet Hatta, karena sebagian lain sedang berada di luar Ibukota atau di Sumatera, rapat darurat kabinet diadakan secara sangat tergesa-gesa, saat Belanda sedang bergerak menuju kota Yogyakarta. Selain Soekarno dan Hatta, rapat juga dihadiri oleh Sutan Syahrir, Ir. Djuanda, Prof. Dr. Asikin, Haji Agus Salim, Mr. Nazir Pamoentjak, Mr. A.G. Pringgodigdo, Mr. Asaat, Kolonel TB. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, dan Suryadharma Kepala Staf Angkatan Udara (Mestika Zed, 1997:75). Sebelum penangkapan atas dirinya, Wakil Presiden/Perdana Menteri RI Bung Hatta masih sempat mendiktekan pidato singkatnya untuk diedarkan keseluruh wilayah Republik Indonesia:

"... musuh mau mengepung pemerintah, tetapi Republik tidak tergantung pada nasibnya orang-orang yang menjadi Kepala-Negara atau yang duduk dalam pemerintahan.... Rakjat harus berdjoang terus...." (Mestika Zed, 1997:75-76).

Pada masa PDRI di Bukittinggi/Koto Tinggi dalam bulan Desember 1948 hingga Juli 1949, dalam strukturnya kita mengenal istilah Wali Perang, Camat Militer, Bupati Militer, Gubernur Militer (Mestika Zed, 1997:204). Pada masa Kabinet PDRI per 31 Maret 1949, perwakilan Indonesia di luar negeri yaitu Mr. Utojo Ramelan dan Mr. Zairin Zain (Kakak tertua Harun Zain) menjadi perwakilan di Singapura. Perwakilan Republik Indonesia di PBB (Paris/New York) adalah L.N. Palar dan wakilnya Dr. Sumitro Djojohadikusumo (Mestika Zed, 1997:223). Pada tanggal 3 Agustus 1949 diadakan gejatan senjata sebagai implementasi Roem-Royen Agreement yang dimediasi oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI, 1948) yang dibentuk PBB (Abrar Yusra, 1997:58-61). UNCI sebagai pengganti Komisi Tiga Negara (1947) yang gagal menjalankan tugasnya mendamaikan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda yang datang melancarkan agresi militernya.

Advertisement
BANNER POSISI 14
Scroll kebawah untuk lihat konten
Setelah Agresi Militer Belanda II selesai dan diakhiri dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dengan Belanda. Belanda mengakui Kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949. Pada saat itu, Harun Zain yang berpangkat Pratu bertugas di Kompi 1 Dasemen 1 Brigade 17 Blitar-Malang didemobilisir oleh Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar Pejuang untuk tugas belajar ke FE-UI. Dr. Sumitro Djojohadikusumo ayah dari Presiden Prabowo Subianto, adalah dosen Harun Zain di FE-UI. Selain itu, Dr. Sumitro Djojohadikusumo adalah perwakilan Republik Indonesia di PBB pada masa kabinet darurat (Mestika Zed, 1997:223). Dengan belajar dari para pejuang bangsa, tandanya kita pandai menghormati para pendahulu kita.

Referensi

Buku Pelengkap IV Pemilihan Umum 1977, Ringkasan Riwayat Hidup dan Riwayat Perjuangan Anggota MPR Hasil Pemilu tahun 1977.

Buku II: Lembaga Pemilihan Umum, bahwa telah diselenggarakan Pemilu Tahun 1977 dipandang perlu untuk mengangkat anggota DPR dan MPR mewakili golongan karya, ABRI dan bukan ABRI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta anggota tambahan MPR yang diangkat/ditetapkan melalui Keputusan Presiden nomor 104/M Tahun 1977 tanggal 19 September 1977.

Gusti Asnan, dkk. 2018. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018. Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia.

Editor : Berita Minang
Tag:
IKLAN POSISI 15
Bagikan

Berita Terkait
AMSI MEMBER
Terkini
BANNER POSOSI 5
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT SAMPAH