IKLAN KUPING KANAN PASISI 12
IKLAN POSISI 13

Makna Pepapatah Minang: Mandapek Samo Balabo, Kailangan Samo Rugi

Ilustrasi (Istano Basa Pagaruyuang). Dok.
Ilustrasi (Istano Basa Pagaruyuang). Dok.
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

MANDAPEK Samo Balabo, Kailangan Samo Rugi merupakan ungkapan dari cerminan keadilan dan kebersamaan dalam Budaya Minangkabau.

Pepatah Minangkabau merupakan perwujudan dari nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun dalam masyarakat. Salah satu pepatah yang sarat makna sosial dan filosofi hidup adalah “Mandapek samo balabo, kailangan samo rugi.” Dalam bahasa Indonesia, pepatah ini berarti “Mendapat sama banyak, kehilangan sama-sama rugi.” Meskipun terdengar sederhana, ungkapan ini menggambarkan prinsip keadilan, kebersamaan, dan tanggung jawab kolektif yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau.

Makna dan Filosofi Pepatah

Secara harfiah, pepatah ini menekankan pada dua situasi penting dalam hidup: ketika mendapat keuntungan (mandapek) dan saat mengalami kerugian atau kehilangan (kailangan). Frasa “samo balabo” berarti hasil yang diperoleh harus dibagi rata, sedangkan “samo rugi”menandakan bahwa kerugian harus ditanggung secara bersama pula. Makna tersiratnya adalah bahwa dalam kehidupan bersama—baik itu dalam keluarga, suku, nagari, atau kelompok sosial lainnya—keadilan dan kebersamaan adalah landasan utama dalam bertindak. Tidak boleh ada yang diistimewakan atau dibiarkan menanggung beban sendirian, karena setiap orang adalah bagian dari satu kesatuan. Nilai ini sangat sesuai dengan prinsip adat Minangkabau yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Masyarakat Minangkabau percaya bahwa segala sesuatu yang dilakukan bersama akan terasa ringan dan membawa keberkahan, sebagaimana pepatah lain berbunyi “barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang” (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing).

Implementasi dalam Kehidupan Tradisional

Advertisement
BANNER POSISI 14
Scroll kebawah untuk lihat konten
Dalam kehidupan masyarakat adat Minang, pepatah ini tidak hanya menjadi slogan semata, melainkan dijadikan sebagai prinsip dalam berinteraksi, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat luas. Misalnya dalam kegiatan pertanian, jika sekelompok petani bekerja bersama menanam padi, maka hasil panen akan dibagi secara adil berdasarkan peran dan kontribusi masing-masing. Jika terjadi gagal panen karena bencana alam, maka semua anggota kelompok akan saling membantu meringankan beban yang dialami satu sama lain. Demikian juga dalam kegiatan adat seperti baralek (pesta adat), seluruh anggota keluarga atau kaum akan ikut andil dalam mempersiapkan dan menyukseskan acara. Keuntungan dan kemuliaan dari terselenggaranya acara akan dirasakan bersama, tetapi jika terjadi kekurangan dana atau permasalahan lain, maka itu juga menjadi tanggung jawab bersama.

Makna Sosial dan Keadilan dalam Pepatah

Pepatah ini juga menyiratkan pesan moral bahwa keadilan bukan hanya dalam hal pembagian hasil, tetapi juga dalam menyikapi kegagalan atau musibah. Dalam banyak budaya, sering kali kegagalan atau kesalahan dibebankan kepada individu, sementara kesuksesan dinikmati oleh kelompok. Namun dalam budaya Minang, hal ini ditolak secara halus melalui pepatah ini: jika berhasil, maka hasilnya dibagi; jika gagal, maka semua turut bertanggung jawab. Filosofi ini menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya soal apa yang didapat, tetapi juga bagaimana kita menghadapi kesulitan. Dalam kehidupan sosial yang ideal, tidak boleh ada yang merasa tertinggal atau disisihkan—semua harus dirangkul dalam semangat gotong royong.

Relevansi dalam Kehidupan Modern

Meskipun pepatah ini lahir dari kehidupan agraris masyarakat Minang pada masa lampau, nilai-nilainya tetap sangat relevan dalam kehidupan modern. Dalam konteks kerja tim, organisasi, dan bahkan pemerintahan, prinsip

Editor : Marjeni Rokcalva
IKLAN POSISI 15
Bagikan

Berita Terkait
AMSI MEMBER
Terkini
BANNER POSOSI 5
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT SAMPAH