IKLAN KUPING KANAN PASISI 12
IKLAN POSISI 13

Reformasi Kepolisian, Bisakah Mengubah Paradigma Kekuasaan yang Sudah Mengakar?

Foto Revan Fauzi Handika
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

REFORMASI 1998 seharusnya menjadi titik balik lahirnya institusi-institusi demokratis di Indonesia, termasuk Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Namun, lebih dari dua dekade berlalu, pertanyaan mendasar masih bergema di ruang publik: apakah Polri benar-benar telah berubah, ataukah hanya berganti wajah tetapi tetap mempertahankan paradigma kekuasaan yang lama?

Sebagai mahasiswa ilmu politik, kita dituntut untuk tidak sekadar melihat Polri sebagai aparat penegak hukum, tetapi juga sebagai institusi politik yang sarat kepentingan. Sebab, relasi kuasa antara negara, rakyat, dan aparat penegak hukum selalu ditentukan oleh siapa yang mengendalikan instrumen kekerasan sah (legitimate use of force). Polri, dalam hal ini, bukan sekadar aparat penertiban, melainkan pilar kekuasaan yang sering kali dipelihara untuk melanggengkan dominasi elit politik.

Jejak Historis dan Paradigma Kekuasaan Polri

Polri lahir dari rahim sejarah panjang Orde Baru yang otoriter. Meski secara kelembagaan dipisahkan dari TNI pascareformasi, banyak pola lama yang tetap hidup: budaya kekuasaan yang sentralistik, gaya komando militeristik, hingga kecenderungan represif terhadap rakyat. Reformasi seakan hanya merombak kulit luar, tanpa benar-benar membongkar akar persoalan.

Paradigma kekuasaan yang mengakar di tubuh Polri terbukti dalam berbagai kasus: mulai dari tindakan represif terhadap demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi aktivis, hingga praktik “jual beli hukum” di tingkat elit. Pertanyaan besarnya, apakah Kapolri sebagai pucuk pimpinan berani melakukan reformasi substansial, atau justru terjebak pada lingkaran status quo yang menguntungkan segelintir pihak?

Advertisement
BANNER POSISI 14
Scroll kebawah untuk lihat konten
Sebagaimana ditegaskan oleh Samuel P. Huntington, “institusi politik yang kuat bukanlah yang sekadar mampu bertahan, melainkan yang mampu beradaptasi dengan tuntutan masyarakatnya.” Jika Polri gagal beradaptasi dengan tuntutan demokrasi, maka reformasi kepolisian hanya akan menjadi jargon kosong tanpa makna.

Tantangan Kapolri: Reformasi atau Retorika?

Setiap Kapolri baru selalu datang dengan jargon perubahan, mulai dari “Presisi” hingga berbagai program modernisasi. Namun realitas di lapangan sering kali tidak berbanding lurus. Penegakan hukum masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil diproses hukum dengan cepat, sementara elit yang memiliki kuasa politik dan ekonomi sering kali dilindungi atau bahkan dinegosiasikan kasusnya.

Kondisi ini menunjukkan betapa dalamnya paradigma kekuasaan yang mengakar. Polri bukan sekadar lembaga penegak hukum, tetapi bagian dari struktur kekuasaan yang memiliki kepentingan politik. Di sinilah tantangan reformasi Kapolri: bukan hanya membenahi citra kelembagaan, melainkan merombak kultur kekuasaan yang selama ini melekat erat.

Seorang mahasiswa politik tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa Polri sering kali menjadi alat kekuasaan. Saat rakyat turun ke jalan untuk menyuarakan kritik, aparat hadir dengan gas air mata, pentungan, dan barisan tameng. Demokrasi direduksi menjadi ritual prosedural, sementara kebebasan sipil terus digerogoti.

IKLAN POSISI 15
Bagikan

Opini lainnya
AMSI MEMBER
Terkini
BANNER POSOSI 5
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT SAMPAH