IKLAN KUPING KANAN PASISI 12
IKLAN POSISI 13

Apatisme Politik: Ancaman Diam-diam bagi Demokrasi

Foto Aisyah Fitri Mas
Ilustrasi Apatisme Politik: Ancaman Diam-diam bagi Demokrasi
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

DEMOKRASI tidak hanya bergantung pada lembaga pemerintahan, partai politik, atau pemilihan umum. Demokrasi berkembang berkat keterlibatan aktif dari masyarakat. Tanpa peran serta masyarakat, demokrasi hanya akan menjadi sistem formal yang lemah. Sayangnya, di tengah kebangkitan demokrasi pemilu di Indonesia, munculnya sikap apatis terhadap politik masih mengancam secara signifikan. Banyak individu, terutama anak muda, merasa bahwa politik adalah hal yang kotor, membosankan, dan tidak berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Apatisme politik dapat dipahami sebagai sikap acuh tak acuh atau kurangnya perhatian masyarakat terhadap isu politik dan proses pengambilan keputusan publik. Meskipun apatisme ini tidak tampak seperti aksi demonstrasi atau konflik, dampaknya bisa jauh lebih berbahaya. Demokrasi yang tidak disertai partisipasi akan menjadi pincang. Jika semakin banyak individu yang menghindar dari proses politik, maka kekuasaan akan jatuh ke tangan segelintir elit yang kadang tidak memperhatikan kepentingan rakyat.

Fenomena apatisme politik di Indonesia hadir dalam beragam bentuk. Beberapa orang tidak mau berpartisipasi dalam pemilu dengan alasan bahwa satu suara tidak mempengaruhi apa pun. Ada pula yang datang ke tempat pemungutan suara hanya sekadar formalitas, tanpa benar-benar memahami pilihan yang mereka ambil. Di sisi lain, terdapat generasi muda yang aktif di media sosial, namun lebih senang memperdebatkan hal-hal sepele dibandingkan membahas isu publik yang lebih substansial. Semua ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk berpartisipasi dalam politik belum sepenuhnya terbangun di kalangan masyarakat.

Saya percaya bahwa apatisme politik merupakan ancaman yang tidak terlihat bagi demokrasi. Jika sikap ini terus dibiarkan, maka demokrasi akan menjadi ritual lima tahunan yang tidak memiliki substansi. Praktik politik yang tidak bersih, oligarki, dan manipulasi informasi akan semakin mudah berkembang ketika masyarakat acuh tak acuh. Demokrasi memerlukan warga yang kritis, aktif, dan berani berbicara, bukan masyarakat yang memilih untuk diam.

Apa yang menyebabkan munculnya apatisme politik? Pertama, rasa kecewa terhadap para elit politik. Korupsi, janji palsu yang tidak ditepati, serta perebutan kekuasaan yang penuh intrik membuat banyak orang merasa muak. Kedua, rendahnya pemahaman politik. Banyak individu yang tidak mengetahui hak dan kewajiban politik mereka, sehingga merasa tidak ada kepentingan untuk terlibat. Ketiga, adanya budaya pragmatisme yang memandang politik hanya dari sudut siapa yang berkuasa, tanpa memperhatikan perjuangan untuk kepentingan bersama.

Advertisement
BANNER POSISI 14
Scroll kebawah untuk lihat konten
Padahal, jika kita melihat ke belakang, keterlibatan masyarakat dalam politik adalah faktor kunci untuk keberlanjutan demokrasi. Reformasi 1998 tidak akan terjadi tanpa keberanian rakyat untuk bergerak. Gerakan mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat sipil membuktikan bahwa perubahan hanya dapat terwujud ketika individu aktif menyuarakan aspirasi mereka. Jika di masa lalu partisipasi masyarakat mampu menumbangkan rezim otoriter, mengapa di era yang lebih terbuka ini kita justru memilih untuk apatis?

Beberapa data juga menunjukkan bahwa tantangan terhadap hal ini nyata. Laporan survei setelah Pemilu 2024 menunjukkan bahwa meski tingkat partisipasi pemilih cukup tinggi, kualitas partisipasi tersebut masih diragukan. Banyak pemilih yang mengaku tidak mengenal calon yang mereka pilih, dan sebagian besar menentukan pilihan hanya berdasarkan popularitas, bukan program yang ditawarkan. Ini adalah wujud apatisme yang terselubung: hadir secara fisik, tetapi tidak berkontribusi secara substansial.

Ada yang berpendapat bahwa apatisme merupakan hak setiap warga negara. Tidak ikut memilih dianggap sebagai manifestasi kebebasan dalam sebuah demokrasi. Namun, pandangan ini keliru jika apatisme dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab politik. Demokrasi bukan hanya tentang hak, tetapi juga tentang kewajiban. Hak untuk memilih harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk menjaga kualitas demokrasi. Dengan demikian, apatisme politik bukanlah ungkapan kebebasan, melainkan sikap yang mengabaikan tanggung jawab sebagai warga negara.

Lalu, bagaimana cara untuk mengatasi sikap acuh tak acuh terhadap politik? Pertama, penting untuk meningkatkan pemahaman politik sejak usia muda. Generasi muda perlu diajak untuk mengerti bahwa politik bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan juga berkaitan dengan masa depan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lingkungan mereka. Kedua, partai politik harus lebih terbuka dan jujur. Jika partai hanya berfungsi sebagai kendaraan untuk kalangan tertentu, tidak ada harapan bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Ketiga, media massa dan platform daring harus dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman politik, bukan sekedar menyebarkan berita yang mengundang perhatian.

Sikap acuh tak acuh terhadap politik tidak langsung menimbulkan gejolak, tetapi justru itu yang menjadi masalah. Ia beroperasi secara perlahan, merusak pondasi demokrasi dari dalam. Demokrasi tanpa perhatian dari rakyat akan berubah menjadi sekadar ritual yang dikuasai oleh orang-orang kaya dan elit.

IKLAN POSISI 15
Bagikan

Opini lainnya
AMSI MEMBER
Terkini
BANNER POSOSI 5
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT SAMPAH