Sebagai mahasiswa, kita punya kewajiban moral untuk terus menggugat dan mengawasi jalannya reformasi kepolisian. Suara mahasiswa tidak boleh berhenti di jalanan, tetapi juga harus hidup di ruang akademik. Kritik kita harus tajam, berbasis data, dan berakar pada analisis politik yang mendalam.
Polri bukanlah musuh, tetapi mitra demokrasi yang seharusnya berpihak pada rakyat. Namun, ketika mitra ini menyimpang dan menjelma menjadi alat kekuasaan, mahasiswa tidak boleh bungkam. Sejarah membuktikan bahwa perubahan besar selalu lahir dari keberanian untuk menggugat.
Penutup
Reformasi Polri bukan sekadar urusan teknis manajemen kepolisian, melainkan persoalan politik yang menyangkut relasi kuasa antara negara dan rakyat. Paradigma kekuasaan yang sudah mengakar hanya bisa diubah jika ada keberanian dari pucuk pimpinan, tekanan dari masyarakat sipil, dan konsistensi dari generasi muda untuk terus menggugat.
Jika Polri gagal melakukan reformasi substantif, maka kehadirannya hanya akan menjadi simbol kekuasaan, bukan pengayom rakyat. Pada akhirnya, sejarah akan mencatat: apakah Kapolri di era ini tercatat sebagai reformis sejati, atau sekadar aktor yang memperindah wajah lama dengan topeng baru.(***)
· Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, 1995.
· Huntington, Samuel P. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press, 1968.
· Mietzner, Marcus. Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Singapore: ISEAS, 2009.