IKLAN KUPING KANAN PASISI 12
IKLAN POSISI 13

Tungku Tigo Sajarangan: Pilar Kepemimpinan Adat yang Merawat Warisan Minang

Foto Ari Yuliasril
Ilustrasi Tungku Tigo Sajarangan: Pilar Kepemimpinan Adat yang Merawat Warisan Minang
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

NILAI-NILAI adat masyarakat Minangkabau terus dilestarikan dan diwariskan secara turun-temurun agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Konsep Tungku Tigo Sajarangan adalah sistem nilai yang sangat penting. Masyarakat Minangkabau percaya bahwa kehidupan adat juga harus ditentukan oleh tiga elemen kepemimpinan utama, seperti tungku yang harus dibangun dengan tiga kaki agar tidak goyah. Penghulu, alim ulama, dan cadiak pandai adalah ketiga komponen tersebut. Mereka memainkan peran penting dalam mengatur kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan di nagari atau kampung. Harmoni dalam masyarakat adat dianggap sulit dicapai jika ketiganya tidak bekerja sama.

Dalam Tungku Tigo Sajarangan, penghulu sangat penting. Ia adalah ketua suku atau kaum yang bertanggung jawab menjaga adat istiadat , mengatur hubungan keluarga, dan menjaga anak kemenakan dilindungi. Penghulu juga bertanggung jawab untuk menjaga harta pusako tinggi keluarga agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Pusako adalah simbol kehormatan dan keabadian keluarga. Seorang penghulu diangkat melalui keputusan keluarga besar dan diresmikan melalui prosesi adat yang dikenal sebagai batagak penghulu. Upacara ini meliputi pemberian gelar adat secara resmi kepada penghulu yang baru diangkat, yang diiringi dengan doa dan restu dari seluruh anggota suku. Penghulu yang ideal harus sabar, jujur, kuat, dan dapat menjadi teladan bagi anak kemenakan.

Ulama adalah komponen kedua Tungku Tigo Sajarangan selain penghulu. Karena Minangkabau menganut falsafah adat yang bertumpu pada syarak, syarak yang bertumpu pada Kitabullah, maka posisi alim ulama sangat penting. Artinya, nilai-nilai Islam harus sejalan dengan adat Minangkabau, dan peran alim ulama adalah menjaga keseimbangan antara adat dan agama. Ulama mengajarkan moral, menjaga tradisi, dan membimbing orang dalam melakukan ibadah. Dalam setiap upacara adat, para ulama biasanya diminta untuk memimpin doa, memberikan nasihat agama, dan mengimbau orang-orang agar tetap mematuhi perintah Allah. Semua lapisan masyarakat menghormati posisi alim ulama karena mereka sering menjadi tempat bertanya apakah ada keraguan tentang masalah sehari-hari.

Sementara itu, unsur ketiga adalah cadiak pandai. Cadiak pandai terdiri dari orang-orang berpengetahuan luas, baik dalam adat, sejarah, maupun perkembangan sosial. Mereka memiliki kemampuan berpikir kritis dan objektif, sehingga mampu menjadi penasihat dalam setiap keputusan adat. Cadiak pandai berperan untuk menimbang apakah keputusan sudah sesuai kepentingan bersama dan mempertimbangkan perkembangan zaman. Dalam musyawarah adat, mereka sering diminta menguraikan persoalan secara rasional agar solusi yang dihasilkan adil dan tidak merugikan pihak mana pun. Cadiak pandai juga membantu merancang aturan nagari agar lebih sesuai dengan tantangan modern, sehingga adat tidak dianggap ketinggalan zaman.

Konsep sajarangan, yang berarti saling menguatkan dan setara, menggabungkan komponen ketiga ini. Agar kehidupan adat tetap seimbang, penghulu, alim ulama, dan cadiak pandai harus saling membantu seperti tiga kaki tungku yang sama panjang. Jika salah satu komponen hilang atau tidak berfungsi dengan baik, masyarakat dapat kehilangan arah dan bahkan dapat terjadi konflik. Oleh karena itu, batagak penghulu, baralek gadang, musyawarah pemecah belah, atau pembangunan nagari ketiganya selalu diundang untuk mencapai kesepakatan bersama dalam setiap kegiatan adat.

Advertisement
BANNER POSISI 14
Scroll kebawah untuk lihat konten
Dalam berbagai upacara adat, nilai Tungku Tigo Sajarangan telah berubah. Ketiganya hadir untuk berperan dalam prosesi batagak penghulu, misalnya. Penghulu lama memimpin serah terima, alim ulama memimpin doa dan restu untuk mendapatkan jabatan baru, dan cadiak pandai membantu menjalankan prosesi dengan tertib. Selain itu, konflik dalam keluarga besar atau antar suku dapat menyebabkan perubahan ini. Balai adat adalah tempat di mana ketiga unsur berkumpul untuk berunding. Alim ulama menekankan prinsip-prinsip syariat, penghulu biasanya memimpin percakapan, dan cadiak bijak memeriksa masalah dengan hati-hati. Agar tidak ada pihak yang dirugikan, semua keputusan dicapai melalui persetujuan.

Selain itu, konsep Tungku Tigo Sajarangan juga menjadi media pendidikan karakter bagi generasi muda. Melalui berbagai acara adat dan alek nagari, para tetua adat menanamkan nilai kebersamaan, toleransi, serta kepedulian sosial. Generasi muda diajak menghargai proses musyawarah, belajar menahan emosi, dan mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi. Nilai-nilai ini menjadi benteng agar anak muda Minang tidak tercerabut dari akar budayanya meskipun mereka hidup di tengah modernisasi.

Menariknya, nilai Tungku Tigo Sajarangan juga diadaptasi dalam pemerintahan nagari modern. Saat ini, di banyak nagari di Sumatera Barat, lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) berperan menegakkan nilai adat, sementara lembaga pemerintahan nagari resmi tetap bekerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berperan layaknya alim ulama dan cadiak pandai. Dengan cara ini, masyarakat merasa lebih dilibatkan dalam proses pembangunan. Hasilnya, program-program pemerintah nagari berjalan lebih selaras dengan budaya lokal dan lebih diterima oleh masyarakat.

Bahkan dalam pembangunan di era globalisasi sekarang, nilai Tungku Tigo Sajarangan tetap memiliki relevansi besar. Pemerintah daerah sering memanfaatkan struktur ini agar keputusan pembangunan tidak berbenturan dengan adat dan agama. Dengan penghulu sebagai perwakilan adat, alim ulama mewakili suara agama, dan cadiak pandai mewakili kepakaran modern, pembangunan nagari bisa dirancang secara inklusif dan berkeadilan. Ini menjadi bukti bahwa nilai tradisional tidak selalu bertentangan dengan kemajuan, justru bisa menjadi pedoman agar pembangunan berjalan lebih bijaksana.

Pada akhirnya, Tungku Tigo Sajarangan bukan hanya warisan masa lalu yang bersifat simbolis, tetapi sebuah sistem kepemimpinan kolektif yang hidup dan dinamis. Melalui ketiga unsurnya, masyarakat Minangkabau belajar bahwa adat harus dijalankan dengan seimbang, memadukan nilai keagamaan, rasionalitas, dan solidaritas sosial. Generasi muda pun diingatkan agar jangan hanya memuja modernisasi, tetapi juga merawat akar budaya sebagai identitas. Dengan semangat musyawarah, tolong-menolong, dan kesetaraan, nilai Tungku Tigo Sajarangan terbukti mampu mengawal masyarakat Minangkabau menghadapi arus perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Dari upacara adat hingga kehidupan sehari-hari, semangat keseimbangan ini terus diaktualisasikan dan diwariskan, agar budaya Minang tetap tegak berdiri dan tidak tergerus oleh perkembangan dunia yang semakin cepat. (***)

IKLAN POSISI 15
Bagikan

Opini lainnya
Loading...
BANNER KONTENMINANG-4AMSI MEMBER
Terkini
BANNER POSOSI 5
BANNER KONTENMINANG-6BANNER ANDAIKLAN LAYANAN MASYARAKAT SAMPAH