Penulis: Marjeni Rokcalva
DARI nukilan cerita turun temurun, orang Minang bersuku Koto, tidak akan dimakan oleh buaya jika terdampar di muara, hanyut di laut, bahkan ketika berenang di sungai yang banyak buayanya sekalipun.
'Suku awak ko, ado karomahnya, awak indak ka dimakan buayo, karano buayo tuw palinduang orang suku Koto',(suku kita ini, memiliki keistimewaan, orang yang bersuku Koto tidak akan dimakan oleh buaya, karena buaya adalah penjaga kita). Entah perjanjian atau kebaikan apa yang telah dilakukan oleh tetua suku Koto dahulunya, sehingga buaya pun enggan memangsa orang minang yang bersuku Koto.
Asal usul suku Koto sendiri menurut A A Navis, dalam bukunya berjudul Alam Takambang Jadi Guru menyatakan bahwa, nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang berasal dari bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, di mana dahulu benteng ini terbuat dari bambu. Di dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota.
Baca Juga
- Dosen FBS Universitas Negeri Padang Juara 1 Lomba Merdeka Berkarya Bercerita Kemdikbudristek
- Begini Cerita Fitra Murni, Guru SMAN 3 Padang Panjang Raih Penghargaan Internasional dari AEC
- 3 Alumni Sukses UNP Bakal Berbagi Cerita Sukses ke 1.633 Wisudawan
- Sedikit Cerita Rakor dari Mentawai yang Indah
- Begini Cerita Lahirnya Monumen Al Quran di Islamic Center Padang Panjang
Dahulu suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang, tetapi karena perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, di mana falsafah suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh (menetes dari atas), Tabasuik dari bawah (muncul dari bawah), batanggo naiak bajanjang turun, merupakan filosofi bagaiman suku Koto mencoba menyelesaikan masalah. Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan (Besar karena diagungkan oleh orang banyak).
Menariknya, beberapa tokoh besar di Indonesia juga banyak yang bersuku Koto, Pengusaha Basrizal Koto, Mantan Mentri Tifatul Sembiring, Penyair Taufiq Ismail, Wartawan Hardimen Koto bahkan Jendral Boy Rafli Amar juga bersuku Koto. Apakah tokoh-tokoh besar di atas juga mengalami cerita bahwasanya buaya tidak memangsa orang suku Koto?
Cerita keistimewaan ini, pasti pernah mampir ke telinga anak minang yang bersuku Koto, biasanya sebagai dongeng pengantar tidur sewaktu kecil atau remaja. Di minang sendiri, suku diwariskan dari ibu bukan dari bapak, atau lebih terkenal dengan istilah matrilineal.
Anehnya, dua orang konco palangkin (teman akrab) saya yang juga sama-sama bersuku Koto, Hendro (32) dan Handri (32), mereka juga pernah mendapat cerita buaya dan suku Koto ini dari orangtuanya, artinya, tidak mungkin para orangtua berbohong tentang keistimewaan suku ini.
Di Minangkabau, berbicara sejarah, seni, budaya dan cerita rakyat, memang kental dan erat kaitanya dengan ajaran agama Islam. Adat basandi sarak sarak basandi kitabullah (ABSSBK), secara ringkas semua-semua maslah dirunut kepada kitabullah atau kitab suci Al-Quran. ABSSBK merupakan falsafah hidup orang Minangkabau.
Jika dikaitkan cerita ini dengan budaya orang minang yang memang dekat dengan ajaran agama, jelas tersirat pesan moril untuk supaya hidup sesuai tuntunan agama. Jika manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna, hidup sesuai ajaran dan perintah, maka makhluk lain akan semakin tunduk dan hormat. Tidak terkecuali pada binatang, pasti binatang akan tunduk juga sesuai kodratnya. Poin pentingnya, buaya pasti tidak akan memangsa manusia yang hidup sesuai tuntunan agama.
Belum ada literatur atau ulasan resmi tentang cerita suku Koto dan buaya. Namun, jika memang memiliki makna secara tersirat dan tersurat. (***)
Sumber: kompasiana.com
Komentar