DALAM khazanah budaya Minangkabau yang kaya akan filosofi dan petuah, peribahasa bukan sekadar permainan kata. Ia adalah simbol, petunjuk arah, bahkan cermin kehidupan yang mengajarkan kita bagaimana bersikap dalam dunia yang penuh dinamika. Salah satu peribahasa yang memiliki kedalaman makna luar biasa adalah: “Sataba-taba pungguang ladiang, kok diasah tajam juo.”
Secara harfiah, peribahasa ini menggambarkan bagian belakang ladiang (sejenis alat pemotong atau parang) yang tidak lazim diasah, tetapi jika diasah dengan sungguh-sungguh, tetap bisa menjadi tajam. Namun seperti kebanyakan peribahasa Minangkabau, kekuatan sejatinya terletak bukan pada makna literal, melainkan pada makna simbolik dan filosofisnya. Ia mengajarkan tentang potensi, ketekunan, transformasi, dan nilai kemanusiaan yang sering terabaikan karena terbungkus dalam ketidaksempurnaan.
Dalam kehidupan, banyak orang yang merasa tidak memiliki keistimewaan. Ada yang lahir dalam keterbatasan ekonomi, pendidikan, fisik, atau status sosial. Mereka dianggap “bagian belakang ladiang” oleh standar umum masyarakat, tidak menonjol, bahkan kadang disepelekan. Namun peribahasa ini justru membalik persepsi itu. Ia menegaskan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi "tajam" asal diasah dengan sungguh-sungguh.
Makna ini begitu kuat, terutama di tengah masyarakat modern yang sering terjebak dalam kehidupan yang tidak sempurnaan. Dunia seakan lebih menghargai siapa yang paling terang, paling cepat, paling sukses. Namun peribahasa ini hadir sebagai suara sunyi dari lembah-lembah kebijaksanaan, mengingatkan bahwa ketajaman bukan hak eksklusif mereka yang terlahir di ujung tombak, tetapi juga milik mereka yang berada di belakang, selama ada kemauan untuk diasah.
Pengasahan dalam peribahasa ini bukanlah proses instan. Ia adalah lambang dari kerja keras, kesabaran, dan konsistensi. Tidak ada besi yang tajam tanpa digesek. Demikian pula manusia, tidak ada yang matang tanpa diuji. Dalam pandangan Minangkabau, seseorang akan dihormati bukan hanya karena dia mampu, tetapi karena dia bersedia berproses “manjadi urang” dalam makna yang sejati.
Peribahasa ini juga menyimpan kritik halus terhadap kecenderungan manusia menghakimi dari penampilan luar atau prasangka pertama. Dalam konteks sosial, sering kali seseorang diabaikan karena tidak memenuhi ekspektasi umum: tidak fasih berbicara, tidak bergelar tinggi, tidak berpakaian rapi, atau tidak berasal dari keluarga terpandang.
Namun Minangkabau, dengan kebijaksanaan leluhurnya, menolak sikap seperti itu. Dalam peribahasa ini terkandung seruan: jangan remehkan siapa pun hanya karena ia tampak "tidak biasa." Karena dalam ketidaksempurnaan itulah kadang tersimpan kekuatan yang menunggu untuk diasah dan ditunjukkan.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Di era globalisasi dan kompetisi seperti saat ini, makna dari peribahasa ini semakin relevan. Banyak anak muda yang merasa kecil hati karena tidak lulus dari universitas ternama, tidak viral di media sosial, atau tidak punya jaringan yang kuat. Mereka merasa kalah sebelum bertarung. Namun, peribahasa ini memberikan harapan dan arah: asal mau diasah, semua bisa menjadi tajam. Apapun latar belakangmu, asalkan kamu konsisten belajar, terus berusaha, dan tidak menyerah, kamu tetap bisa menjadi ahli di bidangmu, dihormati oleh lingkunganmu, bahkan membawa perubahan besar.