Penulis: Marjeni Rokcalva
Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan, oleh orang Minang sendiri disebut dengan istilah suku. Di Minangkabau terdiri dari empat suku induk yaitu koto, piliang, bodi, dan caniago. Kemudian berkembang menjadi berbagai macam suku lainnya yang merupakan pecahan dari suku induk.
Navis di dalam bukunya pernah mengatakan, suku koto berasal dari bahasa sanskerta yaitu kottaa yang artinya benteng, dimana dahulu benteng ini terbuat dari bambu. Di dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga, yang kemudian menjadi sebuah kotoa yang berarti kota dalam bahasa batak dan disebut utaa yang artinya kampuang. Menurut Husnur, kata piliang terbentuk dari dua kata yaitu pele yang artinya banyak dan hyang yang artinya dewa atau tuhan. Jadi pelehyang artinya adalah banyak dewa, Hal ini menunjukan bahwa dimasa lampau suku piliang adalah suku pemuja banyak dewa yang barangkali mirip dengan kepercayaan hindu. Menurut Basa, dari kata bodhi atau pohon bodhi, sebuah pohon yang sering dijadikan oleh petapa buuddhisme. Suku ini sudah menempati wilayah Minangkabau jauh sebelumnya datang agama islam bahkan dapat dikatakan bahwa suku ini termasuk pendiri adat Minangkabau atau suku nenek moyang orang Minangkabau. Menurut Basa, suku caniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang yang merupakan salah satu induk suku di Minangkabau selain suku piliang.
Masyarakat Minangkabau pada umumnya tinggal dalam suatu tempat yang disebut nagari. Dalam suatu nagari memiliki 4 jenis suku yang masing-masingnya di pimpin oleh penghulu. Para penghulu terdahulu telah membuat aturan bahwa kaumnya tidak diperbolehkan untuk kawin sesuku. Dengan alasan agar adatnya berkembang, jika ada yang melanggarnya maka akan diberikan berbagai jenis sanksi.
Baca Juga
- Fluktuasi Harga Ayam Merugikan Peternak, Begini Antisipasinya
- Begini Sejarah Plat Nomor Kendaraan di Indonesia
- Begini Cara Pemda Solsel Menurunkan Prevalensi Stunting Didaerah tersebut
- Begini Kronologi Aksi Demo Aliansi Kebangkitan Alam Surambi Pada Pemda Solsel
- Begini Cara MIN 5 Solsel Meriahkan HUT RI Ke-78, Sediakan Kambing dan Sepeda
Dari masing-masing suku tersebut biasanya di pimpin oleh seorang penghulu yang dikenal dengan istilah penghulu pucuk. Pada zaman dahulu para penghulu pucuk tersebut berkumpul di suatu tempat, dan bersumpah bersama dengan saksi Al-quran bahwa sekaum atau sepesukuan ialah bersaudara. Maka dari itu jika sekaum atau sepesukaan dilarang untuk menikah dan sumpah itu akan berlaku untuk seluruh keturunannya. Jika ada yang melanggar maka akan diberikan hukuman yang sudah detetapkan.
Yang melanggar kawin sasuku ini mengatas namakan cinta dan jodohnya. Tetapi penghulu terdahulu telah bersumpah mengatas namakan Al-qur'an. Maka bagi siapa yang melanggar sumpahnya dalam agama islam akan datang murka Allah swt kepadanya, dan ia akan mendapatkan mudoratnya dan kehilangan hak secara adat.
Pada zaman sekarang sudah banyak yang melanggar sumpah penghulu terdahulu. Padahal iya tau kalau ada sangsi yang berat atas apa yang mereka lakukan Seperti;
* hidupnya akan memiliki banyak masalah,
* anak yang dilahirkan akan cacat,
* hidupnya akan melarat,
* disisihkan dikampungnya,
* merusak nama baik kaumnya,
* tidak akan tentram keluarganya,
* disaat dia meninggal tidak ada pecah adat,
* tidak ada bendera hitam,
* menyemblih seekor sapi putih.
Menurut Rezi, pasangan yang menikah sesuku akan dikucilkan oleh sukunya, tidak dibenarkan duduk didalam sukunya dan juga tidak diterima oleh suku-suku lain di wilayah atau luhak (daerah). Bahkan, bekas tempat duduk mereka akan dicuci oleh masyarakat, ini mengambarkan betapa buruknya mereka dimata masyarakat. Lelaki yang melakukan kesalahan hilang hak memegang jabatan (menjunjung sako) yang terdapat dalam sistem adat. Sedangkan perempuan akan kehilangan hak atas segala harta pusaka suku.
Hal itu tidak hanya berdampak bagi yang melakukan saja tetapi akan berdampak kepada keluarga dan kaumnya. Sukunya tidak akan berkembang, ninik mamaknya akan mendapat malu dan jika ada acara adat dia tidak akan di perolehkan untuk ikut di dalamnya.
Padahal diMinangkabau telah dijelaskan aneka ragam perkawinan yang dianjurkan dan dilarang. Perkawinan yang ideal ialah perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan lazim disebut sebagai pulang ke mamak atau pulang kebako. Pulang kemamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang kebako iyalah mengawini kemenakan ayah.
Perkawinan dengan orang luar kurang disukai, meskipun tidak dilarang. Dengan kata lain perkawinan ideal bagi masyarakat Minangkabau ialah perkawinan antara awak sama awak. Masyarakat Minangkabau sangat terkenal dengan adatnya yang kuat karena adat bagi masyarakat Minangkabau merupakan peraturan atau peganggan hidup sehari hari. Setiap orang Minangkabau harus memegang teguh adat tersebut bila tidak dia dianggap orang yang tidak beradat. Orang dikatakan demikian. Hal ini juga berlaku di dalam perkawinan.
Semakin modrennya kehidupan aturan itu tidak dipandang serius lagi oleh masyarakat Minangkabau dan sudah banyak orang yang melanggar aturan tersebut, tapi perkawinan sesuku sudah banyak terjadi pada saat zaman sekarang dengan alasan penghulunya berbeda walau pun sesuku.Nilai-nilai adat dan budaya semakin merosot. Terutama pada kalangan remaja baik itu laki-laki mau pun perempuan, bahkan lebih banyak yang mengindahkan budaya barat dari pada budayanya sendiri.
Maka akan hancur kebudayaan kita jika generasi muda sekarang tidak faham adat dan budaya. Bagaimana mereka akan melestarikan dan menjagannya jika mereka sendiri tidak memahaminya. Contohnya ada pada zaman sekarang yang melakukan kawin sasuku padahal sudah dijelaskan sebab dan akibatnya. Tentu banyak hal yang mempengaruhi hilangnya tradisi tersebut dari masyarakat Minangkabau bahkan sudah sangat kecil peluang untuk mengembalikan aturan adat seperti dahulu.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinana sesuku dizaman sekarang adalah karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hukum adat, terutama remaja yang disebabkan karena orang tua tidak memperkenalkan hukum adat yang berlaku di daerah tempat tinggal mereka. Masyarakat menilai kurang tegasnya sangsi yang di jalankan sehingga anak kemenakan seenaknya melanggar adat tersebut, sebagian besar masyarakat mengatakan peran tokoh adat sangat dibutuhkan agar adat tidak dilanggar begitu saja oleh anak kemenakan, harus ada tindakan oleh semua elemen adat, agar masalah ini dijadikan masalah yang tidak usai-usai. Agar para pemuka adat di berbagai kenagarian di daerah Minangkabau sering mengadakan penyuluhan adat mengenai perkawinan dan larang-larangannya, agar anak kemenakannya mengetahui dan tidak melupakan aturan adatnya. (***)
By; Putri Rahayu Rahman (Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas)
Komentar