Laporan: Indra Yosef D (SAWAHLUNTO)
AROMA kopi khas robusta, tercium harum menusuk hidung di Dusun Tangah Sawah Desa Silungkang Duo, Kecamatan Silungkang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, bau sedap itu membuat saya penasaran, dimanakah sumber bau yang selalu tercium saat melintasi jalur lintas Sumatera persis dipinggir Batang Lasi yang membelah Nagari Silungkang.
Suara klatak klutuk, bunyi alu beradu lesung tak kalah hebat dengan bau khas kopi Robusta itu, diselingi bunyi air mengalir dari Batang Lasi yang memutar kincir tua penumbuk kopi milik keluarga Almarhum Lukman Kincir yang wafat 1970 silam.
Hari itu baru sekitar pukul 09.30 WIB, saya ada janjian dengan generasi kedua dari Lukman Kincir yakni H.Erman Lukman, tapi Pak Erman ada keperlua lain sehingga saya diterima generasi ketiganya Candra Wilson Lukman, guna menjelajahi informasi seputar kincir tua yang masih bertahan ditengah teknologi maju saat ini.
Cerita kincir milik keluarga Lukman tak pernah habisnya. H.Erman pernah menceritakan, kincir air miliknya itu sudah dirancang ayahnya sejak tahun 1930, dan dioperasikan saat itu sebagai penumbuk padi.
Tetapi, seiring perkembangan waktu, cerita Erman, tahun 1952 kincir itu tak lagi menumbuk gabah atau butiran, melainkan beralih sebagai penumbuk kopi hingga sekarang. Seperti tak pernah lelah, kincir air yang dirakit tahun 1930 tersebut terus berputar kencang ditengah usianya yang sudah sekitar 90 tahun.Cerobong asap masih terlihat berdiri kokoh menjulang kelangit mengeluarkan asap putih dari tungku snggrai atau disebut tungku perendangan kopi jenis robusta.
Inilah pabrik Kopi Cap Teko yang masih berkibar meski tak luput dari pasang surut ekonomi bangsa.
Perjalanan Panjang Kincir Air
Kincir air yang dibangun Lukman memiliki perjalanan sejarah cukup panjang, mulai era kolonial Belanda dan Jepang, hingga zaman kemerdekaan sekarang ini, Kopi Cap Teko masih tetap menunjukan eksistensinya sebagai kopi tulen dengan aroma dan cita rasa kopi robusta asli.
Editor :