Prof Harun Zain dan Prof Isrin Noerdin Saling Dukung Demi Kemajuan Kampung Halaman

Gubernur Sumatera Barat Harun Zain sedang berada di Pedesaan, tatap muka dengan ninik mamak dan masyarakat (Sumber Foto: Abrar Yusra, 1997:193).
Gubernur Sumatera Barat Harun Zain sedang berada di Pedesaan, tatap muka dengan ninik mamak dan masyarakat (Sumber Foto: Abrar Yusra, 1997:193).
PT GITO PERDANA SEJAHTERA

LANTAS dimana titik temu peran dan pengabdian Drs. Harun Zain yang waktu itu Rektor UNAND sekaligus Gubernur Sumatera Barat dengan IKIP Padang? Satu diantaranya adalah dukungan Gubernur Harun Zain saat IKIP Padang menganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa, Dr. HC.) pada tahun 1968 kepada Engku Muhammad Sjafe'i (INS Kayutanam) karena jasa-jasanya dalam bidang pendidikan.

Waktu itu Rektor IKIP Padang Prof. Dr. Isjrin Noerdin berkawan karib dengan Rektor UNAND Drs. Harun Zain yang sekaligus Gubernur Sumatera Barat (1966-1971). Berhubung penganugerahan gelar Dr. HC. tentu tak lepas dari dukungan daerah, terutama Gubernur selaku Kepala Daerah Tk. I Sumatera Barat. Disinilah tampak sikap saling dukung mendukung dan betapa kuatnya keinginan Harun Zain maupun Isjrin Noerdin untuk membangun Sumatera Barat lewat perguruan tinggi yang ada. Walaupun beliau lahir dan dibesarkan di tanah rantau nan berbeda.

Inilah cadiak-pandai-nya Rektor Prof. Dr. Isjrin Noerdin, sebelum PTPG / IKIP lain yang segenerasi berpikir untuk menganugerahkan gelar Dr. HC. kepada tokoh-tokoh yang telah berjasa kepada bangsa dan negara, Rektor Prof. Dr. Isjrin Noerdin telah berbuat. Seperti kata motto PT. Semen Padang kami sudah berbuat, sebelum orang lain memikirkannya.

Bahkan langkah Rektor IKIP Padang ini diikuti oleh PTPG yang pertama berdiri yaitu PTPG Malang (IKIP Malang) dengan menganugerahkan gelar Dr. HC. kepada Ki Sarino Mangunpranoto yang merupakan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan RI tahun 1956-1957, pengganti Mr. Muhammad Yamin. Penganugerahan ini dilakukan oleh IKIP Malang pada tanggal 17 April 1976 (Gusti Asnan, dkk. 2018:191). Promotor gelar Dr. HC. kepada Engku Muhammad Sjafe'i tentulah Prof. Dr. Isjrin Noerdin yang waktu itu Rektor IKIP Padang yang masih berstatus Guru Besar ITB disamping itu beliau juga anggota MPRS-RI (1968), Prof. Drs. Harun Zain Rektor UNAND (1964-1968) sekaligus Gubernur Sumatera Barat (1966-1971), dan Drs. Sutan Zanti Arbi, MA yang menjabat sebagai Pembantu Rektor 1 IKIP Padang.

Dasar penganugerahan gelar Dr. HC. adalah UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, Pasal 10 ayat (3) "gelar Doctor Honoris Causa dapat diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah mempunyai djasa jang luar biasa terhadap ilmu pengatahuan dan umat manusia oleh suatu universitas". Dalam hal ini Engku Muhammad Sjafe'i adalah Menteri P.P & K Republik Indonesia yang ketiga (12 Maret 1946 -- 2 Oktober 1946). Engku Muhammad Sjafe'i dan INS Kayutanam memiliki filosofi pendidikan yang sangat monumental, sehingga mampu menginspirasi generasi muda Indonesia dari waktu ke waktu: (1) janganlah meminta buah mangga dari pohon rambutan tetapi jadikanlah setiap pohon berbuah manis, (2) engkau jadilah engkau, dan (3) alam takambang jadi guru (Mestika Zed, 2022:165, Hera Hastuti, 2013:59, Hendri, 2022).

Satu dari tiga filosofi ini kemudian menjadi motto IKIP Padang hingga UNP modern hari ini: Alam Takambang Jadi Guru. Menurut Prof. Dr. H. Prayitno, M.Sc, M.Ed, filosofi ini beliau usulkan dalam rapat Senat IKIP Padang pada tahun 1982 agar dijadikan motto IKIP Padang. Namun jauh sebelum berdirinya INS Kayutanam mengunakan filosofi ini, Ayah angkat Engku Muhammad Sjefe'i yaitu Ibrahim Marah Sutan dalam mengajar telah mengunakan filosofi Alam Takambang Jadi Guru. Ibrahim Marah Sutan terlahir dari keluarga pedagang. Ayahnya bernama Rantau Bagindo Nagari, seorang penghulu dagang di Bukittinggi. Rantau Bagindo Nagari ini medirikan sekolah, beliau telah mengunakan filosofi alam takambang jadi guru juga dalam mengajar. Bahkan jauh sebelum semuanya itu, filosofi Alam Takambang Jadi Guru ini telah ada dalam adat dan budaya Minangkabau sejak dulunya. Suatu ungkapan kearifan Minangkabau yang bernilai universal, sangat mendunia.

Tentu ada hal yang sangat berkesan dari tokoh Harun Zain dan Isjrin Noerdin, bahwa kedua-duanya pernah sama-sama Tentara Pelajar (TP) yang pada akhirnya memilih jalan intelektual (kuliah di UI dan ITB) sebagai jalan hidup dan pengabdiannya. Selain itu, latar belakang ini membawa dampak positif berupa sifat pejuang dan pantang menyerah dikala beliau memimpin negeri ini. Isjrin Noerdin memilih berhenti dari Dinas Ketentaraan saat berumur 29 tahun, lalu masuk kuliah di FIPIA-UI selama tujuh tahun (1951-1957), melanjutkan kuliah ke Doktor ITB, kemudian ke Pricenton University (1963) di Amerika Serikat.

Setelah selesai kuliah di Amerika Serikat, Isjrin Noerdin pulang ke ITB, mengabdi sebagai Guru Besar (Profesor) ITB. Sebelumya, pada tahun 1951, Isjrin Noerdin menjadi Guru SMAN Bukittinggi (SMAN 2 Bukittinggi sekarang) yang dahulunya adalah Sekolah Rajo, sekolah yang telah berdiri sejak tahun 1856 tidak berapa lama setelah STOVIA Batavia (1849) yang sekarang menjadi FK-UI. Sekolah Rajo dan STOVIA Batavia adalah dua sekolah yang paling modern dan memiliki jenjang tertinggi saat itu.

Dari segi umur, Isjrin lebih tua empat tahun (1923) daripada Harun Zain (1927). Beliau berdua memiliki komitmen yang luar biasa dalam mambangkik batang tarandam, mambangun ranah Minang di era 1965-1970-an. Masing-masing sangat berkomitmen dengan bidangnya. Prof. Dr. Isjrin Noerdin berjuang di ranah pendidikan. Beliau tak segan-segan menjadi Kakanwil Pendidikan & Kebudayaan Sumatera Barat (1971-1973) yang saat itu Gubernurnya adalah Harun Zain, walaupun beliau adalah Rektor IKIP Padang dan masih berstatus Guru Besar (Profesor) ITB.

Hal yang sangat sulit meraih gelar Profesor kala itu, karena Guru Besar diangkat oleh Presiden. Salah satu buah karya Isjrin Noerdin adalah sekolah laboratorium IKIP Padang yang kemudian dikembangkan menjadi Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Padang. PPSP IKIP Padang ini menjadi role models bagi pengembangan PPSP lain diberbagai IKIP lainnya di Indonesia. IKIP Medan, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Malang, IKIP Yogyakarta, IKIP Surabaya, dan IKIP Makassar. Bahkan dari wawancara, penulis dapatkan informasi bahwa ide dan gagasan mendirikan Balai Penataran Guru (BPG) waktu itu datang Prof. Dr. Isjrin Noerdin. BPG ini kemudian menginspirasi bagi lahirnya BPG-BPG lainnya diberbagai provinsi-provinsi di Indonesia. Sekarang BPG berkembang menjadi BBPMP yang terdapat hampir di semua provinsi di Indonesia.

Editor : Berita Minang
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini