Penulis: Kutipan/YN | Editor: Redaktur
Padang- Jika seorang wartawan dihasilkan dari proses yang instan maka hasilnya juga akan instan. Biarpun dia memiliki bakat atau alumni jurnalistik, tetapi jika tidak diikuti dengan proses pengasahan diri maka akan sulit berkembang.
Orang hebat tidak dihasilkan dari kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesullitan, tantangan, dan air mata. Maka menjadi wartawan hebat harus bekerja keras dan terus belajar, tidak statis, dan memerlukan ketekunan yang luar biasa sehingga bisa menghasilkan berita yang berkualitas dan lengkap.
Jika pribahasa klasik 'alah bisa karena terbiasa' kadang dipahami sebagai etos dalam diri, maka seseorang yang bertugas sebagai juru warta tidak boleh terlena di dalamnya.
Sebab secara profesional, terdapat nilai kebenaran, independensi, hingga kepercayaan publik yang harus dijaga. Tanpa membisa -- bisakan kemampuan, apalagi membiasakan kebiasaan yang sok bisa.
Sedikit butir-butir yang disebutkan di atas merupakan dasar-dasar klise mengapa awak media wartawan piaman laweh - termasuk saya sendiri mengikuti bimtek peningkatan kapasitas jurnalistik.
Diselenggarakan oleh Dinas Kominfo Sumbar di Padang, saya bersama 40 orang pewarta lain menjalani pelatihan tersebut selama tiga hari berturut - turut sejak tanggal 28-30 Maret 2023, lewat aspirasi anggota DPRD Sumbar Muhammad Ridwan.
Dana dari pemerintah Sumbar untuk kegiatan tersebut adalah perjuangan panjang anggota dewan dari PKS yang berangkat dari Dapil II, Kota Pariaman dan Padang Pariaman. Maka, wartawan Piaman Laweh mendapat pembekalan Jurnalistik melalui aspirasi dewan dari PKS.
Diketahui, Jurnalis atau dikenal juga wartawan adalah sebutan untuk seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik seperti menulis, menganalisis, dan melaporkan suatu peristiwa kepada publik lewat media massa secara teratur.
Kegiatan jurnalitik dilakukan di berbagai media massa seperti koran, majalah, radio, televisi, juga media online. Jurnalis sering dianggap sebagai wakil dari suara masyarakat mengenai berbagai kejadian yang ada dan terjadi di masyarakat.
Secara khusus, Bimtek Jurnalistik berkutat soal teori-teori fundamental jurnalistik yang wajib dipahami pewarta. Tujuan utamanya adalah untuk menegakkan pilar kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. Beriringan pula dengan upaya penjagaan harkat martabat jurnalis yang intelektual dan kredibel.
Seorang sahabat wartawan senior pada kegiatan tersebut bercerita, saat ini, di era disrupsi informasi, dimana media khususnya online tumbuh bagai jamur di musim hujan. Menjadi wartawan begitu gampang, mendirikna media begitu gampang, tapi (-maaf) mengesampingkan tujuan luhur dari jurnalisme.
Ada peristiwa menarik yang terjadi saat ini di tanah air. Hanya bermodalkan kartu pers dan surat tugas, banyak orang sudah mengaku menjadi wartawan.
Celakanya, perusahaan pers baik media elektronik, cetak maupun online begitu gampangnya mengeluarkan kartu pers dan surat tugas peliputan, yang alih-alih calon si wartawan hanya membayar kisaran Rp 250.000 -- Rp 300.000.
Ironisnya, saat proses rekruitmen wartawan tidak lagi mengunakan seleksi. Tidak ada lagi proses house training bagi wartawan yang baru direkrut terlebih lagi bagi wartawan yang sudah bekerja.
Bahkan, rapat redaksi pun di sebuah media sudah tidak lagi dilakukan. Fenomena seperti itu terjadi dikalangan industri pers dan kepada wartawannya, jangan harap menghasilkan produk jurnalistik yang berkulitas.
Dewasa ini semua orang bisa menjadi penyampai informasi tapi belum tentu menjadi penulis berita. Banyak orang salah memaknai, dan mengatakan bahwa informasi sama dengan berita, sehingga menyamakan informasi hoax dengan berita hoax. Padahal sangat jauh berbeda, namanya berita memiliki syarat-syarat khusus, ada rumus penulisannya, dan kriterianya.
Maka di era sekarang dengan banyak media (online), saya selalu mengatakan dan meyakini, bahwa pada saatnya nanti media online yang akan bertahan adalah media yang benar-benar tetap setia dan concern dengan nilai-nilai jurnalisme. Yang tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip pemilihan, pemilahan, dan penulisan berita yang menggunakan kaidah jurnalistik yang benar.
Sebenarnya, untuk menekuni profesi mulia tersebut, seorang wartawan harus memiliki pengetahuan yang mencakup pengetahuan tentang jurnalisme, pengetahuan umum, dan pengetahuan sesuai bidang kewartawan yang bersangkutan.
Seorang wartawan juga harus memiliki keterampilan antara lain mencakup keterampilan menulis termasuk penempatan tanda baca, wawancara, riset dan investigasi.
Saking gampangnya mengantongi kartu pers, maka, hanya bermodalkan kartu pers itu banyak mengaku wartawan padahal tak ada kemampuan untuk menulis berita sesungguhnya. Intinya tanpa pernah mengenyam pendidikan tingkat apapun kini dengan leluasa mudah memiliki kartu pers.
Fenomena yang terjadi juga saat ini, mengaku wartawan bermodalkan kartu pers itu, karena tidak ada kemampuan untuk menulis berita terbit di medianya, maka hanya berharap rilis atau berita copy paste dari berbagai sumber.
Yang parahnya juga, sudah berita rilis copy paste tanpa editing, kemudian mengaku hasil tulisannya sendiri dengan mengganti inisial si penulis berita.
Bila tidak mau belajar jurnalistik lebih banyak, maka selamanya tidak akan mampu menulis karya tulisan yang bagus. Maka dari itu, tidak gampang untuk menjadi wartawan sesungguhnya, sebab sesuai UU No 40 tahun 1999 pasal 1, wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Wartawan tanpa bisa menulis berita tentu saja bukanlah wartawan dalam arti sebenarnya. Orang menyebut wartawan "jadi-jadian atau abal-abal". Maka, hanya berbekal kartu pers ini terkadang di salah gunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan tak jarang digunakan cara pemerasan.
Seorang sahabat lainya yaitu wartawan muda yang telah mendapat sertifikasi Uji Kompetisi Wartawan (UKW) mengakui, sekalipun wartawan senior memang banyak dasar jurnalistik yang tertinggal dan terlupakan dari meja kerja pewarta.
Paling tidak pembekalan dan pelatihan jurnalistik dapat menjadi satu sabetan keras kepada jurnalis, yang terlampau nyaman bekerja sesuai kebiasaan-tanpa sadar telah mengabaikan dasar-dasar profesionalitas.
Meski menjadi seorang pewarta tidak terbatas oleh kepemilikan bukti kompetensi dari Dewan Pers, kriteria uji yang telah didapat di pelatihan pelatihan jurnalistik dan UKW dapat menopang pengembangan karier kewartawanan.
Khususnya di perusahaan pers profesional pada era teknologi informasi. Paling utama, standar UKW ini dapat membedakan kualitas pewarta yang bekerja sesuai kaidah sakral profesi wartawan dan bukan semata-mata menomorsatukan jumlah klik ataulikesdi lini masa.
Saya memberikan apresiasi kepada Muhammad Ridwan anggota DPRD dari PKS dengan perjuangan yang begitu panjang kegiatan bimtek peningkatan kapasitas wartawan yang di gelar selama tiga hari itu dapat menghasilkan pewarta yang berkualitas.(Kutipan/YN)
Komentar