Salah satu tradisi tahunan di negeri ini dari pusat sampai ke pelosok kampung untuk memeriahkan hari kemerdekaan dengan mengadakan kegiatan pawai. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online pawaiberartiiring-iringan orang, mobil, kendaraan, dan sebagainya; perarakan:untuk meramaikan hari ulang tahun kemerdekaan.
Salah satu pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah dengan mengadakan pawai HUT RI dapat meningkatkan nasionalisme warga negara? Tentu jawabannya harus disertai dengan penelitian ilmiah yang objektif dan akuntabel. Penulis mencoba berselancar di dunia maya, untuk menemukan jawaban itu. Sayangnya penulis belum menemukan peneliti atau kalangan akademisi melakukan kajian itu. Asumsi sederhana penulis, berangkali sudah menjadi hipotesis. Bahwasanya kegiatan yang dilakukan hanya dalam waktu 4-5 jam dan sifatnya tahunan tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap tumbuh dan berkembangnya nasionalisme warga, khususnya kalangan pelajar.
Lantas apa maksud dan tujuan dari kegiatan ini diadakan dan sepertinya sudah dianggap kegiatan rutinitas wajib di seantero Nusantara yang tercinta ini? Apakah hanya sebatas adu gengsi dan menampilkan praktik kehidupan yang cenderung perilaku boros (tabzir)? Untuk menjawab itu, penulis mencoba mengurai tradisi pawai berdasarkan pengalaman dan observasi sejak penulis menjadi pelajar sampai menjadi pendidik saat ini.
Maslahah (dampak positif) dari kegiatan pawai untuk memeriahkan HUT RI memang membutuhkan penelitian yang sampai saat ini belum ditemukan. Namun, pemerintah berharap melalui kegiatan ini dapat menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme warga terutama kalangan pelajar. Seperti yang disampaikan oleh Bupati Tuban, H. Fathul Huda saat HUT Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia yang silam. (https://tubankab.go.id)
Sedangkan mafsadah (dampak negatif) dari kegiatan ini berdasarkan pengalaman dan observasi penulis di antaranya:
1. Melanggar norma agama
Jadwal kegiatan pawai biasanya dilaksanakan pada siang hari (ba'da Zuhur sampai shalat Ashar). Amat disayangkan peserta sudah datang di lokasi sebelum shalat Zuhur, lengkap atribut dan asesoris pakaian dan peralatan yang beraneka ragam. Saat azan Zuhur berkumandang, apakah peserta melaksanakan shalat Zuhur? Ternyata, kalaulah menetapkan angka 100% terlalu ekstrim, sekitar 90% peserta dapat dikatakan meninggalkan shalat Zuhur. Tidak hanya sebatas peserta bahkan guru dan warga masyarakat yang ikut juga nyaris berperilaku yang sama. Bagaimana dengan shalat Ashar? Tak jauh beda dengan shalat Zuhur. Karena waktu shalat Ashar masuk peserta masih berada di jalan, menyelesaikan rute yang mesti ditempuh. Mudah-mudahan pawai selesai, waktu shalat Ashar belum habis. Masih ada harapan untuk shalat Ashar di masjid/mushalla atau di rumah. Apakah berlaku hukum rukshah (keringanan) melaksanakan shalat dalam konteks ini? Belum ada ulama yang berfatwa demikian. Kalaupun ada, mungkin ulama yang beraliran sesat.
2. Merenggut kemerdekaan peserta didik
Negara kita sudah merdeka pada tahun 1945. Adanya kegiatan pawai ini kemerdekaan itu direnggut dari peserta didik oleh guru dan pemangku kebijakan. Karena untuk merealisasikan kegiatan ini peserta didik dipilih dan ditunjuk untuk menggunakan pakaian seperti apa dan berperan sebagai apa. Jika ada peserta didik yang menolak atau tidak hadir saat pawai. Maka sanksi hukuman akan diberikan kepada peserta didik. Penulis pernah menimpa hal itu 26 tahun silam, dan hingga saat ini belum hilang dalam ingatan. Menjadi bahan guyonan yang sulit dilupakan. Penulis disuruh mengenakan pakaian pak Haji. Penulis sudah berusaha, namun pakaian yang ada kedodoran. Akhirnya penulis putuskan untuk tidak ikut pawai. Keesokkan harinya saat upacara bendera seluruh pelajar yang tidak ikut pawai, termasuk penulis disuruh berbaris di dalam semak-semak belukar pekarangan sekolah. Tidak hanya itu, makian dan hardikan dari guru menjadi menu sarapan pagi saat itu.
3. Neokolonialisme finansial terhadap orang tua
Sebagian pelajar ditunjuk mengenakan pakaian yang tidak mereka miiliki. Tentunya, sang pelajar akan memohon kepada orang tua menyewa atau membeli pakaian yang telah ditentukan. Orang tua yang peduli dan sayang terhadap sang anak akan berupaya untuk memenuhinya. Bagi orang tua yang memiliki finansial kuat, berangkali tidak bermasalah. Bagaimana dengan orang tua dengan ekonomi lemah? Ternyata, tanpa disadari, guru dan pemangku kebijakan telah menerapkan neokolonialisme finansial gaya baru terhadap orang tua.
4. Menumbuhsuburkan penyakit masyarakat
Peserta didik saat pawai biasanya mengenakan pakaian yang telah ditentukan oleh guru. Ada pakaian yang perlu mendapat perhatian serius oleh guru seperti pakaian yang mengumbar aurat. Karena pakaian yang demikian, bertentangan dengan budaya timur, khususnya Islam. Ingin tampil cantik tidak mesti mempertontonkan aurat. Ruang kreativitas terbuka, dengan tetap mengedepankan pakaian yang sesuai dengan norma adat dan agama.
Peserta pawai biasanya diatur secara berpasang-pasangan. Misalnya pakaian mempelai laki-laki disandingkan dengan pakaian mempelai perempuan. Momen ini dimanfaatkan oleh pelajar yang berpacaran. Bahkan tanpa malu mereka sendiri yang meminta mengenakan pakaian anu dan berpasangan dengan si anu. Oleh sang guru, itu biasanya difasilitasi, karena tidak perlu repot-repot untuk memilih pelajar sebagai peserta pawai. Akhirnya saat pawai berlangsung, oknum pelajar tadi itu, bak penganten yang sudah mengucapkan ijab dan kabul, foto bareng bahkan bergandengan tangan. Yang lebih miris, ternyata berawal dari penganten jadi-jadian, berakhir dengan penganten beneran. Maaf, karena sudah mencoblos sebelum hari H atau istilah lain MBA (married by accident).
Selain itu, ada pelajar laki-laki mengenakan pakaian perempuan, dan sebaliknya. Berangkali maksudnya untuk lucu-lucuan atau untuk menarik perhatian penonton. Perlu diwaspadai jangan-jangan ada maksud terselubung untuk mempromosikan dan mengkampanyekan perilaku seks menyimpang, seperti LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan trangender) yang telah menjalar ke pelosok negeri. Na'uzubillah min zalik
5. Mengembangkan aliran sesat ala Ponpes Al-Zaytun (Panji Gumilang)
Di antara ajaran al-Zaytun yang dicap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah proses pengumandangan azan shalat. Sang muazin dalam pemahaman Ponpes al-Zaytun saat mengumandangkan azan menghadap kepada jamaah. Ditambah dengan gerakan-gerakan tertentu bak dirigen paduan suara atau orkestra.
Lantas dimana letak titik temu atau persamaan azan ala al-Zaytun dengan perhelatan pawai HUT RI?
Menurut pengamatan penulis, pawai yang dilaksanakan pada siang hari akan bertabrakan dengan pengumandangan azan Zuhur dan Ashar. Berangkali tidak ada maksud peserta drumband atau mayoret untuk mengiringi azan. Tapi, saat direkam/divideokan, akan terkesan suara azan diiringi oleh drumband dilengkapi dengan aksi mayoret yang aduhai. Tentunya yang demikian, melebihi ajaran azan ala Ponpes al-Zaytun.
Kegiatan yang menimbulkan maslahah dan mafsadah perlu dikaji secara mendalam. Alhamdulillah, para ulama ushul (hukum Islam) sudah mengkonstruksi kaidah hukum yang dapat diterapkan untuk menakar suatu kegiatan, yang berbunyi:
Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka maslahat yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan.
Berdasarkan uraian di atas, mafsadah pawai jauh lebih besar ketimbang maslahah yang ingin dicapai. Bukan berarti ruang kreativitas berhenti sampai disitu. Karena, apabila illat (sebab) atau unsur yang negatif itu dihilangkan dalam perhelatan pawai. Tentu pawai boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan mafsadah lainnya, misalnya terhindar dari perilaku boros (tabzir).
Memang sulit menghindarkan perilaku boros dalam pawai, apalagi pawai yang melibatkan arak-arakan kendaraan-kendaraan hias yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mungkin sebagian orang menganggap hal ini biasa, sebagai bentuk partisipasi warga memeriahkan HUT RI untuk mengenang jasa para pahlawan bangsa. Namun, pertanyaan lain akan muncul; apakah tidak ada cara-cara yang lebih produktif dan lebih bermanfaat bagi khalayak ramai daripada mengadakan kegiataan pawai yang cenderung terjerumus pada perilaku tabzir?
Ruang nalar positif dan negatif tentu akan selalu terbuka. Ini adalah pilihan, apakah memilih sesuatu yang lebih bermanfaat atau lebih mengedepankan gengsi dan prestise dunia. Nalar positif akan menimbang-nimbang; bagaimana kalau biaya ratusan ribu bahkan sampai jutaan itu dialihkan untuk pengadaan kebutuhan pelajar yang berasal dari keluarga yang kurang mampu?
Entah seberapa banyak sepatu yang sudah menganga (sobek) diganti dengan sepatu baru. Entah seberapa banyak pakaian anak sekolah yang menguning dan sobek digantikan dengan pakaian baru. Pilihan ini memang bukan pilihan populis dan dianggap sok humanis? Tapi ini adalah dunia. Kita akan selalu dihadapkan dengan dua pilihan; positif (takwa) dan negatif (fujur) sebagaimana tertuang dalamQS. Asy-Syams: 8-10:
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya."
Sebagai seorang muslim, harus selalu membangun jiwa optimis. Bahwasanya suatu waktu nanti akan bermunculan pemimpin-pemimpin yang setiap kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang holistik dan berpihak pada ketakwaan. Sikap optimis itu telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw saat beliau berdakwah ke negeri Tha'if bersama Zaid bin Haritsah. Bukannya sambutan hangat dan sanjungan yang beliau dapatkan. Tapi hinaan dan tindakan brutal yang tidak berprikemanusiaan yang dihadiahkan. Kalaulah beliau berjiwa pesimis tentu tawaran malaikat Jibril as, Beliau terima dengan senang hati untuk membinasakan warga Tha'if. Tawaran itu beliau tolak. Karena beliau pemimpin yang berjiwa visioner mampu melihat peluang di masa yang akan datang. Tidak terkungkung dalam kerangkeng egoisme dan keserakahan sesaat, seperti yang dipertontonkan oleh mayoritas pemimpin bangsa kita saat ini. Mudah-mudahan Allah swt menghadirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki hati nurani dan mengikuti jejak perjuangan Baginda Nabi Muhammad saw di negeri yang tercinta ini.
Ba'da Subuh, Padang Laban, H-1 HUT RI ke-78 (Kado Hari Kemerdekaan)
Salam Merdeka dan Salam Anti Neokolonialisme!
Komentar